Perubahan lingkungan organisasi – eksternal maupun internal – adalah suatu keniscayaan, dahulu maupun sekarang. Namun di masa sekarang, kecepatan dan intensitas perubahan lingkungan tersebut pada umumnya berlangsung begitu tinggi, penuh dinamika dan turbulensi. Bahkan, seringkali bersifat diskontinyu sehingga bukan saja menyulitkan, tetapi dapat mengancam keberlangsungan hidup suatu organisasi. Jelaslah, perubahan lingkungan (environmental change) akan mengakibatkan tekanan pada organisasi untuk melakukan perubahan organisasional (organizational change). Di tengah kuatnya arus perubahan lingkungan, tanpa perubahan diri secara tepat dan signifikan organisasi tersebut niscaya akan terseok, bahkan akan mati terlindas hukum besi perubahan.
George dan Jones (2002) menyebutkan sejumlah faktor lingkungan eksternal yang mendorong perubahan, yakni kekuatan kompetisi, kekuatan ekonomi, kekuatan politik, kekuatan globalisasi, kekuatan sosial-demografik, dan kekuatan etikal. Dewasa ini persaingan dalam dunia bisnis berlangsung semakin sengit. Dinamika ekonomi dan politik nasional, regional maupun global bergerak sangat fluktuatif dan penuh kejutan. Globalisasi ekonomi dan budaya yang dipicu oleh perkembangan pesat teknologi informasi dan transportasi telah menyebabkan dunia ini bagaikan desa global (global village). Perubahan struktur demografik dan sosial berlangsung secara sangat signifikan. Dan di tengah semua itu mencuat pula di sana-sini kesadaran etik masyarakat yang menuntut ditegakkannya perilaku etis dalam dunia kerja, bisnis, dan politik.
Sementara, pada lingkungan internal organisasi, perubahan-perubahan yang terjadi pada nilai-nilai, etos kerja, kompetensi maupun aspirasi karyawan juga mengharuskan respons organisasional yang tepat. Makin tingginya tingkat pendidikan rata-rata karyawan, misalnya, akan menyebabkan meningkatnya aspirasi dan tuntutan mereka dalam bekerja. Mereka pada umumnya mengharapkan perlakuan kerja yang lebih manusiawi, peluang aktualisasi diri yang lebih besar, suasana kerja yang lebih menyenangkan, cara kerja yang lebih fleksibel, pemberian reward yang lebih adil dan lebih motivatif, kesempatan karir yang lebih terbuka, dan sebagainya.
Hambatan-hambatan Perubahan
Namun, perubahan organisasional bukanlah hal yang mudah dilakukan. Ada banyak kendala yang bisa menghadang dan memacetkan program-program perubahan. Sejumlah kendala yang ditengarai oleh George dan Jones (2002:645-646) adalah: (1) kendala-kendala sistem keorganisasian dan kekuasaan, (2) perbedaan-perbedaan dalam orientasi fungsional dan struktur organisasi yang mekanistik, (3) kelembaman (inertia) kultur organisasi, (4) norma dan kohesivitas kelompok, (5) pemikiran kelompok (group think) dan kendala-kendala individual, seperti ketidaksiapan yang mengakibatkan rasa ketidakpastian, kekhawatiran, ketidakamanan, persepsi selektif, dan retensi kebiasaan.
Mekanisme yang telah tertanam untuk menghasilkan kemantapan dalam beroperasinya suatu organisasi — yang diberlakukan dalam sistem seleksi karyawan, sistem pelatihan, sistem penilaian kinerja, sistem reward dan punishment, sistem informasi, sistem keuangan, sistem pengambilan keputusan, dan lain-lain — akan menghasilkan suatu inertia ketika menghadapi perubahan. Pola hubungan-hubungan kekuasaan yang telah mapan dan mendatangkan sejumlah privileges bagi para pelakunya juga dapat menghambat upaya perubahan yang mengarah pada redistribusi wewenang pengambilan keputusan. Para manajer dan supervisor yang menikmati kewenangan yang luas mungkin merasa terancam dengan akan diberlakukannya sistem pengambilan keputusan partisipatif atau diterapkannya tim kerja swakelola.
Orientasi fungsional yang berbeda pada tiap-tiap departemen atau bagian organisasi juga dapat mempersulit terbangunnya kesamaan visi perubahan. Sebagai contoh, departemen keuangan yang lebih berorientasi pada efisiensi biaya mungkin akan menolak ide perubahan teknologi yang diusulkan departemen produksi yang ingin mengejar kuantitas dan kualitas poduksi yang lebih tinggi yang akan berakibat pada meroketnya anggaran. Contoh lain, usulan perubahan desain produk oleh departemen pemasaran berdasarkan hasil riset pasar, bisa jadi kurang direspons positif oleh departemen produksi jika dirasa hanya akan menimbulkan kerepotan dalam proses produksi. Begitulah, masing-masing departemen atau divisi cenderung mengedepankan kepentingan atau mission diri sendiri. Validitas gagasan perubahan akan dinilai pertama-tama dari sudut pandang kepentingan masing-masing. Biasanya, egoisme departemental atau divisional tersebut tumbuh subur dalam struktur organisasi yang mekanistik.
Budaya organisasi, sebagaimana disebutkan hampir 60 tahun yang lalu oleh Selznick (1948), merupakan variabel independen yang sangat memengaruhi perilaku karyawan. Nilai-nilai yang sudah terlembagakan melalui praktik perilaku organisasional dalam kurun waktu yang cukup lama akan menjadi panduan otomatis perilaku para karyawan. Organisasi yang memiliki budaya yang kuat, yakni yang ditandai dengan dipegang dan dianutnya nilai-nilai inti organisasi secara intensif dan secara luas oleh anggota organisasi tersebut (Wiener, 1988), akan menyulitkan suatu perubahan organisasional yang menuntut berubahnya nilai-nilai inti tersebut. Dengan demikian, suatu organisasi yang sudah berpuluhtahun mempraktikkan nilai-nilai budaya korup, etos kerja medioker atau bahkan minimalis, dan business ethics yang rendah sudah barangtentu tidak mudah untuk berubah menjadi organisasi yang berbudaya etis, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, beretoskerja tinggi, dan berorientasi pada keunggulan.
Kelompok-kelompok kerja, formal maupun non-formal juga dapat menjadi penghalang upaya perubahan. Individu-individu yang ingin mengubah perilaku kerjanya besar kemungkinan akan dihambat oleh norma kelompok yang tidak sejalan. Tekanan kelompok dapat mengerem usaha-usaha individual maupun program perubahan organisasional. Kelompok-kelompok dengan kohesivitas tinggi yang merasa terancam akan kehilangan kenyamanannya atas penguasaan suatu sumber daya organisasi mungkin akan melakukan perlawanan.
Kebiasaan berpikir para pimpinan dan segenap karyawan dalam menganalisis situasi dan merespons masalah dapat memerangkap mereka dalam pola-pola pikir konvensional-organisasional (group think). Hal itu akan cenderung menghalangi munculnya pemikiran segar yang diperlukan untuk perubahan. Dalam keadaan demikian, penglihatan masalah dari sudut pandang yang berbeda dan pengajuan alternatif solusi yang sama sekali lain, sulit muncul. Gagasan-gagasan baru, darimanapun datangnya, cenderung dicurigai.
Akhirnya, hambatan perubahan juga sering muncul dari keengganan individual yang berasal dari faktor kebiasaan, ketidaksiapan, terusiknya rasa aman, kekhawatiran akan berkurangnya penghasilan dan bertambahnya kerepotan, ketakutan terhadap hal-hal yang belum dikenali, dan persepsi negatif yang berasal dari informasi mengenai kegagalan-kegagalan upaya perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar