Sabtu, 28 November 2009

Idul Qurban dan Keshalehan Sosial[1]


Oleh; Achmad Rozi El Eroy[2]

Bulan Dzulhijjah merupakan bulan bersejarah bagi umat Islam. Pasalnya, di bulan ini kaum muslimin dari berbagai belahan dunia melaksanakan rukun Islam yang kelima. Ibadah haji adalah ritual ibadah yang mengajarkan persamaan di antara sesama. Dengannya, Islam tampak sebagai agama yang tidak mengenal status sosial. Kaya, miskin, pejabat, rakyat, kulit hitam ataupun kulit putih semua memakai pakaian yang sama. Bersama-sama melakukan aktivitas yang sama pula yakni manasik haji. Selain ibadah haji, pada bulan ini umat Islam merayakan hari raya Idul Adha. Lantunan takbir diiringi tabuhan bedug menggema menambah semaraknya hari raya. Suara takbir bersahut-sahutan mengajak kita untuk sejenak melakukan refleksi bahwa tidak ada yang agung, tidak ada yang layak untuk disembah kecuali Allah Subhanahu Wata’ala

Pada hari itu, kaum muslimin selain dianjurkan melakukan shalat sunnah dua rekaat, juga dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban bagi yang mampu. Anjuran berkurban ini bermula dari kisah penyembelihan Nabi Ibrahim kepada putra terkasihnya yakni Nabi Ismail. Peristiwa ini memberikan kesan yang mendalam bagi kita. Betapa tidak. Nabi Ibrahim yang telah menunggu kehadiran buah hati selama bertahun-tahun ternyata diuji Tuhan untuk menyembelih putranya sendiri. Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Tuhan atau mempertahankan buah hati dengan konsekuensi tidak mengindahkan perintahNya. Sebuah pilihan yang cukup dilematis. Namun karena didasari ketakwaan yang kuat, perintah Tuhanpun dilaksanakan. Dan pada akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi disembelih dengan digantikan seekor domba.

Kisah tersebut merupakan potret puncak kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Nabi Ibrahim mencintai Allah melebihi segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Kecintaan Nabi Ibrahim terhadap putra kesayangannya tidak menghalangi ketaatan kepada Tuhan. Model ketakwaan Nabi Ibrahim ini patut untuk kita teladani. Disamping itu, Penyampaian qurban yang dilakukan Nabi Ibrahim AS, adalah peristiwa yang menunjukkan makna tentang larangan bagi kita untuk menghamba kepada insting-insting primitif kebendaan, larut dalam bujuk rayu materialism hedonistik yang serba palsu dan menjanjikan kesenangan sesat dan artificial
penuh rekayasa. Qurban adalah peristiwa yang melukiskan pergulatan iman Nabi
Ibrahim, antara memilih Allah atau Ismail, anaknya sendiri yang kelahirannya
telah didambakan selama seratus tahun.

di hari Idul Adha, bagi umat Islam yang mampu dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban. Pada dasarnya, penyembelihan binatang kurban ini mengandung dua nilai yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kesalehan ritual berarti dengan berkurban, kita telah melaksanakan perintah Tuhan yang bersifat transedental. Kurban dikatakan sebagai kesalehan sosial karena selain sebagai ritual keagamaan, kurban juga mempunyai dimensi kemanusiaan. Bentuk solidaritas kemanusiaan ini termanifestasikan secara jelas dalam pembagian daging kurban. Perintah berkurban bagi yang mampu ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang respek terhadap fakir-miskin dan kaum dhu’afa lainnya. Dengan disyari’atkannya kurban, kaum muslimin dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan terhadap masalah-masalah sosial, mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama.

Meski waktu pelaksanaan penyembelihan kurban dibatasi (10-13 Dzulhijjah), namun jangan dipahami bahwa Islam membatasi solidaritas kemanusiaan. Kita harus mampu menangkap makna esensial dari pesan yang disampaikan teks, bukan memahami teks secara literal. Oleh karenanya, semangat untuk terus ’berkurban’ senantiasa kita langgengkan pasca Idul Adha. Saat ini kerap kita jumpai, banyak kaum muslimin yang hanya berlomba meningkatkan kualitas kesalehan ritual tanpa diimbangi dengan kesalehan sosial. Banyak umat Islam yang hanya rajin shalat, puasa bahkan mampu ibadah haji berkali-kali, namun tidak peduli dengan masyarakat sekitarnya. Sebuah fenomena yang menyedihkan. Mari kita jadikan Idul Adha sebagai momentum untuk meningkatkan dua kesalehan sekaligus yakni kesalehan ritual dan kesalehan. (Wallahu’alam Bishowaf)


[1] Tulisan ini telah dimuat pada Harian Banten Raya Post, 29 nopember 2009

[2] Ketua Pimpinan Pusat Kader Muda Banten & Direktur Eksekutif The Sultan Center

Sabtu, 14 November 2009

Memaknai Hari Pahlawan[1]

Oleh : Achmad Rozi El Eroy[2]



Setiap tanggal 10 Nopember kita mengenang jasa para Pahlawan, namun secara jujur kalau kita rasakan, mutu peringatan itu menurun dari tahun ketahun, kita semakin tidak menghayati makna hari Pahlawan, peringatan yang kita lakukan sekarang semakin cenderung bersifat seremonial, memang kita tidak ikut mengorbangkan nyawa seperti para pejuang pada saat itu. Tugas kita saat ini adalah memberi makna baru kepahlawanan dan mengisi kemerdekaan sesuai dengan perkembangan zaman. Saat memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, rakyat telah mengorbangkan nyawanya, kita wajib menundukkan kepala untuk mengenang jasa-jasa mereka, karena itulah kita kita merayakan hari Pahlawan setiap 10 November. Akan tetapi kepahlawan tidak hanya berhenti disana.

Dalam mengisi kemerdekaanpun kita dituntut untuk menjadi pahlawan, bukankah arti pahlawan itu adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran ?, bukankah makna pahlawan itu pejuang gagah berani ?, Bukankah makna kepahlawanan tak lain adalah perihal sifat pahlawan seperti keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban dan kekesatriaan. Masalah yang kita hadapi adalah bagaimana mengisi dan mempertahankan kemerdekaaan. Semangat 10 Nopember adalah kekuatan untuk hal itu. Kita tahu bahwa persoalan yang kita hadapi sekarang ini adalah persoalan yang berat. Penjajah memang tak lagi datang, tetapi bahwa model lain dari penjajahan itu sudah menjadi persoalan kita sejak lama.

Penjajahan dalam kontek kekinian muncul dalam bentuk persoalan kemiskinan, kebodohan, kemelaratan politik serta apatisme. Orientasi ke masa depan hampir tidak ada. Kalau kita berjalan sampai ke pelosok dan pedalaman negeri ini, yang ada hanyalah ketidakmampuan mengerti dan merancang mengenai masa depan. Hal ini berkaitan dengan cara berpikir. Kita terbiasa tidak mau berjuang sebab kita mewarisi sebuah negeri yang sudah merdeka. Kita terbiasa hidup dalam kenyamanan kemapanan yang ada. Sebab kita adalah negeri yang amat terbiasa hidup dalam kenyamanan kehidupan yang semu. Sejak kita merdeka, memang negara ini tidak pernah membangkitkan semangat. Kita selalu dihantui oleh ketakutan jika berpartisipasi akan menghadapi masalah dari negeri ini.

Setiap orang harus berjuang untuk menjadi pahlawan, idealnya hari pahlawan bukan hanya pada 10 November saja, tetapi berlangsung setiap hari dalam hidup kita. Setiap hari kita berjuang paqling tidak untuk menjadi pahlawan untuk diri kita sendiri dan keluarga. Artinya kita menjadi warga yang baik dan meningkatkan prestasi dalam kehidupan masing-masing. Mari kita betanya pada diri kita sendiri, apakah kita rela mengorbangkan diri untuk mengembangkan diri dalam dalam bidang kita masing-masing dan mencetak prestasi dengan cara yang adil, pantas dan wajar.

Perhatikanlah setiap anak-anak yang bersekolah. Mereka memang pergi dan pulang, tetapi tidak tahu mengenai apa artinya masa depan. Perhatikan mereka yang bekerja, tanyakan apa yang sedang dikerjakan, pastilah akan menjawab untuk kepentingan dan investasi keluarganya sendiri. Tanyakan pada para birokrat, apa yang sedang mereka lakukan, mereka pasti menjawab bagaimana supaya mereka bisa tetap memperoleh gaji tanpa harus repot-repot.
Setiap orang di negeri ini memang amat sulit memperoleh napas baru bernama semangat tadi. Bandingkan dengan mereka yang tanpa tedeng aling-aling berjuang, angkat senjata dan menyerahkan nyawanya 10 Nopember 1948 silam. Mereka bersedia menyerahkan apa saja, demi satu tujuan yang membakar semangat mereka, yaitu mempertahankan kemerdekaan negerinya.

Akhirnya sudah saatnyalah elit politik dan pemimpin negeri ini berhenti berbicara mengenai diri dan mereka saja. Sudah saatnya yang dibicarakan adalah bagaimana menyelamatkan negeri ini supaya bisa bertahan. Harus jujur kita akui bahwa fondasi semangat negeri ini sudah sangat rapuh. Yang ada adalah disharmoni, perebutan dan intrik politik serta korupsi. Bangsa ini harus dibangkitkan kembali semangatnya untuk bangkit dan mempertahankan ancaman yang datangnya dari dalam diri kita sendiri. (***)



[1] Tulisan ini pernah dimuat di Harian Baraya Post, 10 nopember 2009

[2] Penulis adalah Ketua Pimpinan Pusat Kader Muda Banten (KMB)