Selasa, 22 Desember 2009

PILKADA: ANTARA MONEY POLITIK DAN ONGKOS POLITIK

By.irvan.mawardi@gmail.com

Ketika bicara pilkada dan pemilu, maka topic dominan yang muncul adalah seputar money politik. Meskipun masih penuh perdebatan, namun persoalan money politik sepertinya belum menemukan titik temu. Dalam hal ini praktek money politik selalu diklaim berlangsung dalam pelaksanaan pilkada, namun semua pihak kesulitan memberikan bukti otentik terhadap terjadinya money politik. Banyak pihak yang menganalogikan money politik ibarat (maaf) kentut yang tidak berbunyi namun baunya cukup terasa.

Secara bahasa sederhana money politik dipersepsikan sebagai politik uang. Di sini ada dua dimensi, yakni politik dan uang. Politik selama ini diorientasikan pada kekuasaan dan uang dipersepsikan sebagai salah satu kekuatan yang berbasis material. Artinya politik uang merupakan manifestasi dari upaya merebut kekuasaan lewat jalur politik dengan mengandalkan kekuatan uang. Kekuatan uang dalam hal ini adalah proses penentuan pemenang kekuasaan tidak berdasarkan pilihan rasional namun dengan dengan pertimbangan pragmatisme. Di sinilah kemudian stigma negative melekat dalam persoalan money politik. Misalnya sebuah pasangan yang digugat karena dianggap melakukan pelanggaran yakni money politik. Secara sederhana praktek money politik dalam pilkada atau pemilu biasanya berupa pemberian uang dan materi lainnya kepada calon pemilih dengan harapan pemilih tersebut memberikan dukungan atau memilih calon atau pihak yang memberikan uang. Dalam hal ini politik uang dianggap sebagai pelanggaran karena memberikan uang sebagai bentuk upaya untuk mempengaruhi pilhan politik pemilih.

Praktek politik uang setidaknya bermasalah dalam dua aspek, yakni aspek idealisme demokrasi dan aturan main perundangan. Dalam konteks demokratisasi, fenomena politik uang memiliki sisi berlawanan dengan idealisme demokrasi. Dinamika demokratisasi menghendaki adanya kemandirian dan rasionalitas rakyat sebagai actor utama demokrasi. Pilihan rakyat dalam berdemokrasi harus merdeka dari tekanan dan intimidasi termasuk tekanan uang. Selain itu pilihan rakyat juga mesti berdasarkan pertimbangan rasionalitas bukan alasan yang bersifat pragmatis. Perebutan kekuasan politik seperti apapun bentuknya mesti tetap dalam idealisme demokrasi. Selama ini politik uang yang terjadi dalam pilkada menggeser fungsi pilkada sebagai media agregasi rasionalitas politik mencapai kekuasaan menjadi arena transaksi agen kapitalisme yang mengusung gagasan politik material. Sehingga pilihan politik yang lahir dari pemilu dan pilkada adalah hasil transaksi politik material bukan transaksi politik rasional dan mandiri.

Pada titik ini yang menguat adalah praktek proseduralisme demokrasi yang berbiaya tinggi dan semakin terpinggirkannya nilai demokrasi substansial yang mengusung kearifan dan kemanusiaan. Ujung dari politik uang adalah demokratisasi tak bertuan. Mengapa? Karena agregasi kekuasaan yang berlangsung tidak melibatkan kekuatan kemerdekaan rakyat yang sesungguhnya. Karena yang menggerakkan pilihan mereka adalah landasan material/uang. Di sisi lain pemerintah yang berkuasa pun tidak memiliki ruang akuntabiltas untuk proses pertanggungjawaban. Sebab semua sudah selesai ketika terjadi transaksi uang dalam proses pemilihan. Sehingga tidak mengherankan ketika terjadi tirani kekuasaan oleh Negara, maka rakyat tidak memiliki daya resistensi yang cukup kuat. Di sinilah muncul ironi demokrasi, yakni dari rakyat tapi bukan oleh rakyat dan bukan untuk rakyat.

Aspek kedua, politik uang juga bermasalah dalam perspektiv yuridis. Dalam konteks UU No 10 tahun 2008 tentang pemilu misalnya, disebutkan bahwa Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye.(Pasal 84 ayat 1 huruf J) . Dalam UU 32 tahun 2004 tentang pilkada juga mengatur larangan politik uang, misalnya di pasal 117 ayat 2; Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih Pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Singkatnya secara yuridis politik uang adalah sebuah pelanggaran. Namun menariknya sepanjang pelaksanaan pilkada 2005 sampai 2008 belum ada satupun kasus money politik yang dibawa ke pengadilanl dan menjadi sebuah putusan final yang bisa dieksekusi. Dalam hal ini, belum ada satupun pemenang pilkada yang dianulir kemenangannya karena persoalan money politik. Sebenarnya ada kasus di Banggai Kepulauan yang mempu membuktikan bahwa pemenang pilkada terbukti melakukan money politik. Pengadilan Negeri setempat pun sudah mengeluarkan putusan final. Namun sampai hari ini, proses pergantian bupati yang diputus bersalah belum jelas.

Money politik atau Ongkos Politik

Fenomena tidak adanya eksekusi yuridis terhadap pelanggaran money politik menjadi indikasi bahwa praktek money politik dalam pilkada menjadi sebuah persoalan rumit. Kerumitan mengeksekusi kasus money politik setidaknya dipengaruhi oleh beberapa factor, seperti masih terjadi perdebatan definisi money politik. Banyak pihak yang masing bingung membedakan antara politik uang dan ongkos politik. Dalam sebuah diskusi di Lombok dengan beberapa stakeholders pilkada, seorang peserta meminta supaya larangan money politik dalam pilkada dihapus saja. Artinya praktek politik uang dilegalkan saja. Menurutnya mustahil pilkada atau pemilu tidak ada money politik. Dia kemudian mencontohkan ketika kampanye sebuah pilkada, kandidat mesti membayar berbagai macam perangkat untuk meramaikan pilkada, seperti membayar setiap orang yang datang ikut kampanye, membayar becak atau mobil, membuat kaos, menyewa sound system dll. Dia meyakinkan bahwa hal yang demikian itu adalah pelanggaran namun tidak dapat dihindari ketika arena kampanye atau politik memerlukan ongkos yang tinggi.

Realitas yang digambarkan di atas menunjukkan bahwa betapa tipisnya perbedaan antara money politik uang (politik uang) dan ongkos politik. Ada sebuah pertanyaan: ketika membayar tukang becak 20 ribu untuk hadir meramaikan sebuah kampanye, apakah itu sebuah praktek money politik atau ongkos politik? Atau contoh lain, ketika membayar kehadiran sejumlah massa, per 1 juta untuk satu truk massa, apakah bisa disebut money politik atau ongkos politik?. Dalam sesi kampanye misalnya, kandidat kemudian membagikan kaos, sembako atau bahkan uang kepada peserta kampanye sebagai bentuk terima kasih pasangan kepada rakyat yang telah datang mendengar kampanye, apakah sebuah money politik atau ongkos politik?.

Banyak pelaku dalam hal ini kandidat meyakini aktivitas seperti tadi adalah sebagai tindakan yang memerlukan ongkos politik. Bagi mereka, membayar mereka yang datang sama halnya dengan kandidat lain yang mengeluarkan uang untuk biaya iklan di media massa. Kuatnya peredaran uang dalam dinamika pilkada atau pemilu semakin mengaburkan definisi tentang politik uang. Pada titik inilah kemudian praktek money politik memperoleh legitimasi social dari public. Harapan yang disampaikan peserta diskusi di Lombok sebagaimana disebut di atas merupakan bentuk kehendak legitimasi social. Kehendak itu muncul dari realitas social bahwa proses politik yang saat ini terjadi ditopang oleh pondasi ekonomi warga yang lemah. Sehingga fenomena money politik yang merepresentasikan pragmatisme politik mendapat keabsahan public. Ketika money politik mengalami keabsahan yang cukup kuat, maka fenomena kandidasi pilkada pun tidak perlu menghadirkan figure yang kuat, cerdas dan memiliki visi serta program kerja yang brilian. Sebab sederet perangkat itu tidak dibutuhkan oleh rakyat. Kalau mengikuti gejala pragmatisme masaa saat ini, maka figure yang kehendaki mereka adalah pihak atau kandidat yang memberikan kepuasan material. Sehingga muncullah komunikasi politik dari ara kandidat yang sangat tidak produktif. Misalnya para kandidat menghamburkan uang untuk amplop serangan fajar, pembagian uang ketika kampanye dll.

Dengan demikian, antara money politik dan ongkos politik harus memiliki batasan yang tegas. Dalam konteks ini, praktek money politik merupakan aktivitas yang secara tegas dan jelas mendorong, mengajak atau mempengaruhi pemilih untuk memilih pasangan tertentu dengan berupa iming-iming dan pemberian uang atau hal yang bersifat material. Sedangkan ongkos politik adalah biaya yang mesti dikeluarkan oleh pelaku politik atau kandidat untuk mensukseskan aktvitas politik tanpa bermaksud mendorong atau mempengaruhi pilihan politik pemilih dengan uang atau hal yang bersiat material. Artinya ketika membayar sekian ratus tukang becak untuk memeriahkan kampanye, hal itu bukan money politik, sama halnya ketika mesti membayar truk dan sound system kampanye serta pendukung kampanye lainya, maka kegiatan tersebut murni bagian dari ongkos politik. Namun apabila seorang kandidat kemudian memberikan amplop kepada peserta kampanye dengan disertai pesan dan kalimat minta dukungan, maka hal demikian disebut money politik. Tegasnya, aktivitas yang dilakukan untuk mempengaruhi pilihan atau mendorong pemilih untuk memilih pasangan tertentu dengan uang, maka hal yang demikian disebut money politik alias politik uang.

Dinamika pilkada dan pemilu akan terus mendampingi kehidupan demokrasi kita saat ini. Semakin mandirinya pemilih menentukan pilihannnya, tanpa intimidasi uang merupakan salah satu indicator suksesnya pilkada atau pemilu dan menjadi parameter semakin sehatnya demokrasi kita. Semoga

Senin, 14 Desember 2009

Saatnya Kaum Muda Memimpin

Oleh : Achmad Rozi El Eroy
(ketua Umum Pimpinan Pusat KMB )

Kader adalah mereka yang Siap dipimpin dan siap memimpin………..

Secara universal tidak ada batasan yang baku mengenai kreteria apa saja yang memberi ciri pada orang muda untuk dapat dibedakan dengan kelompok orang yang lain. Di Indonesia yang namanya pemuda adalah mereka yang berumur kurang lebih antara 20 sampai 40 tahun. Sebagian masyarakat kadang-kadang ada yang memberi ciri bahwa mereka yang masih bujangan itulah orang muda. Singkatnya lain tempat lain pula cara masyarakat mendiskripsikan kemudaan seseorang.

Walaupun demikian ada beberapa ukuran streotipikal, meskipun tidak baku, yang bisa kita pakai untuk mengenali sosok generasi muda. Pertama, adalah sosok fisik, fisik orang muda relatif lebih kuat, prima, memiliki daya tahan yang kuat, dan kedua adalah bahwa orang muda mempunyai visi (pandangan hidup) yang dinamis, karena secara psikologis, mereka pada tahap usia transisional. Secara sosiologis, orang muda berada pada posisi mobilitas vertikal yang tinggi dalam bandingannya dengan anak-anak dan kakek-kakek atau orang dewasa. Artinya bahwa orang muda tak lagi mau dikatakan sebagai anak-anak, padahal disebut sebagai orang dewasa belum juga pantas. Pada keadaan seperti itu, didukung beban sosial yang lebih sederhana disbanding dengan kaum tua. Dengan kata lain bahwa, secara psiko-sosiologis orang muda memiliki dinamika pemikiran yang lebih spontan, reaktif, powerfull dan responsif sekaligus reaktif daripada kelompok orang yang lain.

Tak salah jika Richard Robinson kemudian mengkategorikan kaum muda sebagai bagian dari kelas menengah sosial, yakni mereka yang datang dari kelas intelektual dengan pengetahuan yang mapan. Robinson menggunakan indikator intelektual untuk membedakannya dengan kelas menengah yang lain. Kaum muda adalah komunitas yang berpendidikan tinggi dan tercerahkan secara ilmu pengetahuan.

Saatnya kaum muda Memimpin

Tema sentral peringatan hari Sumpah Pemuda tahun 2007 adalah “saatnya Kaum Muda Memimpin Bangsa” Dan ini adalah sesuatu yang sangat penting untuk dipertimbangkan oleh seluruh elemen masyarakat khususnya kaum muda, tidak terkecuali oleh kalangan elit yang ada di puncak kekuasaan, apakah itu di Birokrasi Pemerintahan ataupun mereka yang ada di Partai Politik. Mengapa dianggap penting? Bagi kaum muda, tema saatnya kaum muda memimpin bangsa di deklarasikan lebih pada sebuah refleksi dari perjalanan bangsa yang tak kunjung membaik, dimana para pemimpin-pemimpin bangsa yang berkiprah saat ini banyak didominasi oleh kelompok-kelompok tua, dan secara prestasipun relatif tidak banyak yang diperbuat oleh mereka kelompok tua, yang ada adalah semakin tidak terurusnya bangsa ini.

Adanya krisis kepemimpinan yang melanda bangsa ini, menjadi isu yang sangat penting untuk disikapi, krisis kepemimpinan tidak saja merambah pada tataran kepemimpinan publik di sektor pemerintahan (Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif) tetapi juga merambah pada sektor-sektor swasta dan politik; seperti partai Politik dan lain sebagainya sehingga pada akhirnya rakyat tidak mempercayai pemimpinnya mulai tingkat pusat sampai tingkat daerah.

Disamping itu berbagai hasil survei belakangan menunjukkan bahwa kepemimpinan kaum tua sudah kurang populer. Masyarakat butuh pemimpin baru dalam Pemilu 2009. Para pemimpin tua/ senior sudah saatnya memberikan kesempatan kepada tokoh-tokoh muda untuk tampil sebagai pemimpin alternatif. Walau kekuasaan politik saat ini sudah cenderung demokratis dengan basis legitimasi yang kuat, tetap saja bermasalah karena hegemoni kaum tua memacetkan proses demokratisasi di bawah dan menghambat proses kaderisasi. Yang tua yang berkuasa, yang muda hanya menonton.

Melihat realitas seperti ini, yaitu adanya dikotomi pemimpin tua dan muda ditengah-tengah masyarakat kita yang sedang menata demokrasi secara sehat, akankah hal yang demikian dibiarkan tanpa ada solusi? Sebagai orang muda, penulis beranggapan bahwa realitas yang tengah terjadi di masyarakat dan menimpa bangsa ini, memang seyogyanya dipecahkan secara rasional, obyektif dan tidak emosional. Setidaknya ada dua faktor penting yang bisa menjadi obat mujarab dalam memperbaiki krisis multi dimensi ini; Pertama sosok pemimpin yang baik, kredibel dan amanah. Sosok pemimpin ini tidak ada kaitannya dengan usia, apakah tua atau muda, tetapi lebih ditekankan pada aspek integritas (ketakwaan) dan profesionalisme yang dimiliki oleh pemimpin tersebut. Jika orang muda mendesak untuk memimpin bangsa ini, tetapi tidak memiliki tiga aspek diatas, yaitu tidak baik, tidak kredibel dan ditambah lagi tidak amanah, buat apa? Yang terjadi malah akan semakin memperburuk keadaan. Kedua, adanya sistem yang baik, Sebuah system yang baik akan terwujud manakala “creator” dari system tersebut adalah orang-orang yang baik. Tidak mungkin sebuah system yang baik terwujud dari orang-orang yang tidak baik. Yang ada adalah bagaimana system tersebut menguntungkan bagi si pencipta system. Dengan dua faktor tersebut, diharapkan adanya suasana kondusif yang tercipta dalam membangun dan mengembangkan sebuah system.

Agenda Kaum Muda Indonesia

Dengan merujuk pada tema Sumpah Pemuda 2007 diatas, yaiu “ Saatnya Kaum Muda Memimpin Bangsa”, maka untuk terealisasinya tema tersebut, menurut penulis ada beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh Kaum Muda Indonesia, yaitu; pertama. Meningkatkan dan mengoptimalkan kualitas keilmuan dan ketakwaan (integritas) melalui berbagai media yang tersedia secara serius. Artinya bagaimana juga mutlak diperlukan bahwa syarat memimpin bangsa ini adalah diperlukan sosok pemimpin yang cerdas, sebagaimana yang ditawarkan oleh Ary Ginanjar Agustian dalam bukunya ESQ, bahwa kecerdasan yang harus dimiliki oleh bangsa ini adalah Kecerdasan ESQ (Emotional Spiritual Quotien).

Penulis melihat bahwa syarat yang harus dimiliki oleh pemimpin adalah kecerdasan dan keshalehan sosal. Sebagai bangsa yang religius, sudah semestinya anak-anak bangsa ini memiliki keshalehan individual sebagai manifestasi keyakinan keagamaan yang dimiliki, yang kemudian dikembangkan menjadi keshalehan sosial. Kedua yang harus dimiliki oleh kaum muda Indonesia adalah meningkatkan dan mengembangkan kemampuan dan keterampilan (Skill) yang kokoh dan berdaya saing. Dalam perspektif kepemimpinan masa depan, yang dibutuhkankan adalah seperangkat keterampilan yang bersifat teknis, konsepsional dan memiliki basis human relationship yang tinggi, sehinggga pemimpin masa depan adalah pemimpin yang tidak hanya bisa duduk dibelakang meja saja, tetapi mampu secara teknis juga mengelola sampai pada hal yang sifatnya teknis.

Ketiga, kaum muda Indonesia juga harus memiliki kemampuan yang bersifat softskill, kemampuan soft skill berkaitan dengan kemampuan mengembangkan dan mengelola kepribadian yang positif. Kepribadian yang positif hanya akan lahir manakala kaum muda Indonesia memiliki seperangkat pikiran-pikiran yang positif. Pikiran yang positif merupakan pangkal dari lahirnya tindakan dan karakter yang positif. Tidak mungkin sebuah tindakan dan karakter positif akan lahir dari pikiran-pikiran yang negatif. Oleh karena itu, sudah semestinya kaum muda Indonesia sejak dini membangun dan mengisi pikiran-pikirannya dengan hal-hal yang positif.

Berdasarkan agenda-agenda diatas yang harus dimiliki oleh kelompok kaum muda Indonesia, secara simultan tentunya tidak salah ketika sebagian kaum muda untuk ikut terlibat secara aktif dan mengambil bagian pada institusi politik secara strategis. Kaum muda hendaknya jangan terjebak pada sisi-sisi negatif yang berkembang didalam dunia politik, tetapi harus bisa secara terbuka melihat juga sisi baiknya dan proyeksi politik dan demokrasi kedepan.

Mengutip pernyataan Bapak Dorojatun Kuntjorojakti—(mantan Menko Perekonomian RI Kabinet Presiden Gus Dur ) beliau pernah menyatakan bahwa ”sudah saatnya orang-orang muda Indonesia untuk masuk kedalam partai politik, karena ditangan merekalah nasib bangsa ini selanjutnya ditentukan. Dengan masuk dalam institusi partai politik, orang muda bisa berperan lebih besar didalam pelaksanaan proses pembangunan nasional melalui penyusunan APBD, APBN dan kebijakan-kebijakan lainnya; seperti pembuatan Perda-perda, dan Undang-undang. ”

Pernyataan tersebut tidak lah terlalu berlebihan, mengapa?karena kalau orang-orang muda Indonesia masih bergelut dengan hal-hal yang ”uthopis” maka kapan perubahan akan terwujud? Sudah saatnya memang orang-orang muda masuk secara sadar kedalam institusi Partai Politik, sebagai sarana untuk melakukan perubahan yang nyata bagi kemaslahatan umat. Penulis sangat appreciate, dengan apa yang sudah dilakukan oleh saudara kita Hasanuddin Yusuf (Ketua Umum KNPI Pusat), dengan mendirikan Partai Pemuda Indonesia (PPI), kemudian saudara Imam Addarulqutni, (mantan Ketua PP Pemuda Muhamadiyyah) yang mendirikan Partai Matahari Bangsa (PMB) atau oleh saudara-saudara kita yang lain; yang masuk telah kedalam struktur Partai politik sebagai sarana memperjuangkan nilai-nilai idealismenya.

Strategi merekrut kaum muda Potensial

Kader Muda Banten saat ini sudah seharusnya memgambil inisiatif dalam hal mengakomodir dan merekrut kader-kader muda sebagai wahana untuk proses kaderisasi yang sistematis dimasa depan. Kehadiran kaum muda ditingkat struktur, secara sinergis akan sangat menguntungkan bagi Kader Muda Banten, harus diingat bahwa populasi kaum muda Indonesia saat ini cukup signifikan untuk diberdayakan secara optimal melalui rekruitmen yang tersistematis. Paling tidak, dengan kehadiran kaum muda akan lebih meningkatkan semangat juang yang tinggi bagi partai dalam mengemban cita-cita mulai Kader Muda Banten kedepan, ditambah lagi dengan karakteristik yang melekat dari diri pemuda itu sendiri. Pemuda adalah inovator, agent of change, dan lain sebagainya bagi perubahan sosial masyarakat.

Bagaimana Kader Muda Banten memulai untuk merekrut kader-kader muda potensial untuk bisa masuk dalam institusi partai politik? ada dua cara yang bisa digunakan oleh Kader Muda Banten dalam melakukan hal tersebut; pertama melalui jalur formal, yaitu merekrut kader malalui proses perekrutan formal; seperti pembukaan dan pendaftaran keanggotaan baru , yang dilakukan secara periodik; misalnya satu atau dua bulan sekali yang selanjutnya dilakukan proses pengkaderan. Kedua, yaitu melalui jalur informal, dimana perekrutan dengan jalur informal ini lebih ditekankan kepada tugas-tugas personal kader yang sudah ada di struktur untuk merekrut kader-kader baru yang potensial, atau dalam istilah marketing kita sebut saja member get member.

Perekrutan kedua model ini tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan, tetapi yang pasti tanpa melihat kelebihan dan kekurangan dari dua model rekruitmen tersebut, pada akhirnya kita harus sepakat bahwa Kader Muda Banten harus merekrut lebih banyak kader-kader muda yang potensial dari berbagai sumber rekruitmen. Sehingga dengan demikian estafeta perjuangan dan kaderisasi partai akan tetap terjaga secara sistematis dan terorganisir.®

Sabtu, 28 November 2009

Idul Qurban dan Keshalehan Sosial[1]


Oleh; Achmad Rozi El Eroy[2]

Bulan Dzulhijjah merupakan bulan bersejarah bagi umat Islam. Pasalnya, di bulan ini kaum muslimin dari berbagai belahan dunia melaksanakan rukun Islam yang kelima. Ibadah haji adalah ritual ibadah yang mengajarkan persamaan di antara sesama. Dengannya, Islam tampak sebagai agama yang tidak mengenal status sosial. Kaya, miskin, pejabat, rakyat, kulit hitam ataupun kulit putih semua memakai pakaian yang sama. Bersama-sama melakukan aktivitas yang sama pula yakni manasik haji. Selain ibadah haji, pada bulan ini umat Islam merayakan hari raya Idul Adha. Lantunan takbir diiringi tabuhan bedug menggema menambah semaraknya hari raya. Suara takbir bersahut-sahutan mengajak kita untuk sejenak melakukan refleksi bahwa tidak ada yang agung, tidak ada yang layak untuk disembah kecuali Allah Subhanahu Wata’ala

Pada hari itu, kaum muslimin selain dianjurkan melakukan shalat sunnah dua rekaat, juga dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban bagi yang mampu. Anjuran berkurban ini bermula dari kisah penyembelihan Nabi Ibrahim kepada putra terkasihnya yakni Nabi Ismail. Peristiwa ini memberikan kesan yang mendalam bagi kita. Betapa tidak. Nabi Ibrahim yang telah menunggu kehadiran buah hati selama bertahun-tahun ternyata diuji Tuhan untuk menyembelih putranya sendiri. Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Tuhan atau mempertahankan buah hati dengan konsekuensi tidak mengindahkan perintahNya. Sebuah pilihan yang cukup dilematis. Namun karena didasari ketakwaan yang kuat, perintah Tuhanpun dilaksanakan. Dan pada akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi disembelih dengan digantikan seekor domba.

Kisah tersebut merupakan potret puncak kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Nabi Ibrahim mencintai Allah melebihi segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Kecintaan Nabi Ibrahim terhadap putra kesayangannya tidak menghalangi ketaatan kepada Tuhan. Model ketakwaan Nabi Ibrahim ini patut untuk kita teladani. Disamping itu, Penyampaian qurban yang dilakukan Nabi Ibrahim AS, adalah peristiwa yang menunjukkan makna tentang larangan bagi kita untuk menghamba kepada insting-insting primitif kebendaan, larut dalam bujuk rayu materialism hedonistik yang serba palsu dan menjanjikan kesenangan sesat dan artificial
penuh rekayasa. Qurban adalah peristiwa yang melukiskan pergulatan iman Nabi
Ibrahim, antara memilih Allah atau Ismail, anaknya sendiri yang kelahirannya
telah didambakan selama seratus tahun.

di hari Idul Adha, bagi umat Islam yang mampu dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban. Pada dasarnya, penyembelihan binatang kurban ini mengandung dua nilai yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kesalehan ritual berarti dengan berkurban, kita telah melaksanakan perintah Tuhan yang bersifat transedental. Kurban dikatakan sebagai kesalehan sosial karena selain sebagai ritual keagamaan, kurban juga mempunyai dimensi kemanusiaan. Bentuk solidaritas kemanusiaan ini termanifestasikan secara jelas dalam pembagian daging kurban. Perintah berkurban bagi yang mampu ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang respek terhadap fakir-miskin dan kaum dhu’afa lainnya. Dengan disyari’atkannya kurban, kaum muslimin dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan terhadap masalah-masalah sosial, mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama.

Meski waktu pelaksanaan penyembelihan kurban dibatasi (10-13 Dzulhijjah), namun jangan dipahami bahwa Islam membatasi solidaritas kemanusiaan. Kita harus mampu menangkap makna esensial dari pesan yang disampaikan teks, bukan memahami teks secara literal. Oleh karenanya, semangat untuk terus ’berkurban’ senantiasa kita langgengkan pasca Idul Adha. Saat ini kerap kita jumpai, banyak kaum muslimin yang hanya berlomba meningkatkan kualitas kesalehan ritual tanpa diimbangi dengan kesalehan sosial. Banyak umat Islam yang hanya rajin shalat, puasa bahkan mampu ibadah haji berkali-kali, namun tidak peduli dengan masyarakat sekitarnya. Sebuah fenomena yang menyedihkan. Mari kita jadikan Idul Adha sebagai momentum untuk meningkatkan dua kesalehan sekaligus yakni kesalehan ritual dan kesalehan. (Wallahu’alam Bishowaf)


[1] Tulisan ini telah dimuat pada Harian Banten Raya Post, 29 nopember 2009

[2] Ketua Pimpinan Pusat Kader Muda Banten & Direktur Eksekutif The Sultan Center

Sabtu, 14 November 2009

Memaknai Hari Pahlawan[1]

Oleh : Achmad Rozi El Eroy[2]



Setiap tanggal 10 Nopember kita mengenang jasa para Pahlawan, namun secara jujur kalau kita rasakan, mutu peringatan itu menurun dari tahun ketahun, kita semakin tidak menghayati makna hari Pahlawan, peringatan yang kita lakukan sekarang semakin cenderung bersifat seremonial, memang kita tidak ikut mengorbangkan nyawa seperti para pejuang pada saat itu. Tugas kita saat ini adalah memberi makna baru kepahlawanan dan mengisi kemerdekaan sesuai dengan perkembangan zaman. Saat memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, rakyat telah mengorbangkan nyawanya, kita wajib menundukkan kepala untuk mengenang jasa-jasa mereka, karena itulah kita kita merayakan hari Pahlawan setiap 10 November. Akan tetapi kepahlawan tidak hanya berhenti disana.

Dalam mengisi kemerdekaanpun kita dituntut untuk menjadi pahlawan, bukankah arti pahlawan itu adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran ?, bukankah makna pahlawan itu pejuang gagah berani ?, Bukankah makna kepahlawanan tak lain adalah perihal sifat pahlawan seperti keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban dan kekesatriaan. Masalah yang kita hadapi adalah bagaimana mengisi dan mempertahankan kemerdekaaan. Semangat 10 Nopember adalah kekuatan untuk hal itu. Kita tahu bahwa persoalan yang kita hadapi sekarang ini adalah persoalan yang berat. Penjajah memang tak lagi datang, tetapi bahwa model lain dari penjajahan itu sudah menjadi persoalan kita sejak lama.

Penjajahan dalam kontek kekinian muncul dalam bentuk persoalan kemiskinan, kebodohan, kemelaratan politik serta apatisme. Orientasi ke masa depan hampir tidak ada. Kalau kita berjalan sampai ke pelosok dan pedalaman negeri ini, yang ada hanyalah ketidakmampuan mengerti dan merancang mengenai masa depan. Hal ini berkaitan dengan cara berpikir. Kita terbiasa tidak mau berjuang sebab kita mewarisi sebuah negeri yang sudah merdeka. Kita terbiasa hidup dalam kenyamanan kemapanan yang ada. Sebab kita adalah negeri yang amat terbiasa hidup dalam kenyamanan kehidupan yang semu. Sejak kita merdeka, memang negara ini tidak pernah membangkitkan semangat. Kita selalu dihantui oleh ketakutan jika berpartisipasi akan menghadapi masalah dari negeri ini.

Setiap orang harus berjuang untuk menjadi pahlawan, idealnya hari pahlawan bukan hanya pada 10 November saja, tetapi berlangsung setiap hari dalam hidup kita. Setiap hari kita berjuang paqling tidak untuk menjadi pahlawan untuk diri kita sendiri dan keluarga. Artinya kita menjadi warga yang baik dan meningkatkan prestasi dalam kehidupan masing-masing. Mari kita betanya pada diri kita sendiri, apakah kita rela mengorbangkan diri untuk mengembangkan diri dalam dalam bidang kita masing-masing dan mencetak prestasi dengan cara yang adil, pantas dan wajar.

Perhatikanlah setiap anak-anak yang bersekolah. Mereka memang pergi dan pulang, tetapi tidak tahu mengenai apa artinya masa depan. Perhatikan mereka yang bekerja, tanyakan apa yang sedang dikerjakan, pastilah akan menjawab untuk kepentingan dan investasi keluarganya sendiri. Tanyakan pada para birokrat, apa yang sedang mereka lakukan, mereka pasti menjawab bagaimana supaya mereka bisa tetap memperoleh gaji tanpa harus repot-repot.
Setiap orang di negeri ini memang amat sulit memperoleh napas baru bernama semangat tadi. Bandingkan dengan mereka yang tanpa tedeng aling-aling berjuang, angkat senjata dan menyerahkan nyawanya 10 Nopember 1948 silam. Mereka bersedia menyerahkan apa saja, demi satu tujuan yang membakar semangat mereka, yaitu mempertahankan kemerdekaan negerinya.

Akhirnya sudah saatnyalah elit politik dan pemimpin negeri ini berhenti berbicara mengenai diri dan mereka saja. Sudah saatnya yang dibicarakan adalah bagaimana menyelamatkan negeri ini supaya bisa bertahan. Harus jujur kita akui bahwa fondasi semangat negeri ini sudah sangat rapuh. Yang ada adalah disharmoni, perebutan dan intrik politik serta korupsi. Bangsa ini harus dibangkitkan kembali semangatnya untuk bangkit dan mempertahankan ancaman yang datangnya dari dalam diri kita sendiri. (***)



[1] Tulisan ini pernah dimuat di Harian Baraya Post, 10 nopember 2009

[2] Penulis adalah Ketua Pimpinan Pusat Kader Muda Banten (KMB)