Ketika bicara pilkada dan pemilu, maka topic dominan yang muncul adalah seputar money politik. Meskipun masih penuh perdebatan, namun persoalan money politik sepertinya belum menemukan titik temu. Dalam hal ini praktek money politik selalu diklaim berlangsung dalam pelaksanaan pilkada, namun semua pihak kesulitan memberikan bukti otentik terhadap terjadinya money politik. Banyak pihak yang menganalogikan money politik ibarat (maaf) kentut yang tidak berbunyi namun baunya cukup terasa.
Secara bahasa sederhana money politik dipersepsikan sebagai politik uang. Di sini ada dua dimensi, yakni politik dan uang. Politik selama ini diorientasikan pada kekuasaan dan uang dipersepsikan sebagai salah satu kekuatan yang berbasis material. Artinya politik uang merupakan manifestasi dari upaya merebut kekuasaan lewat jalur politik dengan mengandalkan kekuatan uang. Kekuatan uang dalam hal ini adalah proses penentuan pemenang kekuasaan tidak berdasarkan pilihan rasional namun dengan dengan pertimbangan pragmatisme. Di sinilah kemudian stigma negative melekat dalam persoalan money politik. Misalnya sebuah pasangan yang digugat karena dianggap melakukan pelanggaran yakni money politik. Secara sederhana praktek money politik dalam pilkada atau pemilu biasanya berupa pemberian uang dan materi lainnya kepada calon pemilih dengan harapan pemilih tersebut memberikan dukungan atau memilih calon atau pihak yang memberikan uang. Dalam hal ini politik uang dianggap sebagai pelanggaran karena memberikan uang sebagai bentuk upaya untuk mempengaruhi pilhan politik pemilih.
Praktek politik uang setidaknya bermasalah dalam dua aspek, yakni aspek idealisme demokrasi dan aturan main perundangan. Dalam konteks demokratisasi, fenomena politik uang memiliki sisi berlawanan dengan idealisme demokrasi. Dinamika demokratisasi menghendaki adanya kemandirian dan rasionalitas rakyat sebagai actor utama demokrasi. Pilihan rakyat dalam berdemokrasi harus merdeka dari tekanan dan intimidasi termasuk tekanan uang. Selain itu pilihan rakyat juga mesti berdasarkan pertimbangan rasionalitas bukan alasan yang bersifat pragmatis. Perebutan kekuasan politik seperti apapun bentuknya mesti tetap dalam idealisme demokrasi. Selama ini politik uang yang terjadi dalam pilkada menggeser fungsi pilkada sebagai media agregasi rasionalitas politik mencapai kekuasaan menjadi arena transaksi agen kapitalisme yang mengusung gagasan politik material. Sehingga pilihan politik yang lahir dari pemilu dan pilkada adalah hasil transaksi politik material bukan transaksi politik rasional dan mandiri.
Pada titik ini yang menguat adalah praktek proseduralisme demokrasi yang berbiaya tinggi dan semakin terpinggirkannya nilai demokrasi substansial yang mengusung kearifan dan kemanusiaan. Ujung dari politik uang adalah demokratisasi tak bertuan. Mengapa? Karena agregasi kekuasaan yang berlangsung tidak melibatkan kekuatan kemerdekaan rakyat yang sesungguhnya. Karena yang menggerakkan pilihan mereka adalah landasan material/uang. Di sisi lain pemerintah yang berkuasa pun tidak memiliki ruang akuntabiltas untuk proses pertanggungjawaban. Sebab semua sudah selesai ketika terjadi transaksi uang dalam proses pemilihan. Sehingga tidak mengherankan ketika terjadi tirani kekuasaan oleh Negara, maka rakyat tidak memiliki daya resistensi yang cukup kuat. Di sinilah muncul ironi demokrasi, yakni dari rakyat tapi bukan oleh rakyat dan bukan untuk rakyat.
Aspek kedua, politik uang juga bermasalah dalam perspektiv yuridis. Dalam konteks UU No 10 tahun 2008 tentang pemilu misalnya, disebutkan bahwa Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye.(Pasal 84 ayat 1 huruf J) . Dalam UU 32 tahun 2004 tentang pilkada juga mengatur larangan politik uang, misalnya di pasal 117 ayat 2; Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih Pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Singkatnya secara yuridis politik uang adalah sebuah pelanggaran. Namun menariknya sepanjang pelaksanaan pilkada 2005 sampai 2008 belum ada satupun kasus money politik yang dibawa ke pengadilanl dan menjadi sebuah putusan final yang bisa dieksekusi. Dalam hal ini, belum ada satupun pemenang pilkada yang dianulir kemenangannya karena persoalan money politik. Sebenarnya ada kasus di Banggai Kepulauan yang mempu membuktikan bahwa pemenang pilkada terbukti melakukan money politik. Pengadilan Negeri setempat pun sudah mengeluarkan putusan final. Namun sampai hari ini, proses pergantian bupati yang diputus bersalah belum jelas.
Money politik atau Ongkos Politik
Fenomena tidak adanya eksekusi yuridis terhadap pelanggaran money politik menjadi indikasi bahwa praktek money politik dalam pilkada menjadi sebuah persoalan rumit. Kerumitan mengeksekusi kasus money politik setidaknya dipengaruhi oleh beberapa factor, seperti masih terjadi perdebatan definisi money politik. Banyak pihak yang masing bingung membedakan antara politik uang dan ongkos politik. Dalam sebuah diskusi di Lombok dengan beberapa stakeholders pilkada, seorang peserta meminta supaya larangan money politik dalam pilkada dihapus saja. Artinya praktek politik uang dilegalkan saja. Menurutnya mustahil pilkada atau pemilu tidak ada money politik. Dia kemudian mencontohkan ketika kampanye sebuah pilkada, kandidat mesti membayar berbagai macam perangkat untuk meramaikan pilkada, seperti membayar setiap orang yang datang ikut kampanye, membayar becak atau mobil, membuat kaos, menyewa sound system dll. Dia meyakinkan bahwa hal yang demikian itu adalah pelanggaran namun tidak dapat dihindari ketika arena kampanye atau politik memerlukan ongkos yang tinggi.
Realitas yang digambarkan di atas menunjukkan bahwa betapa tipisnya perbedaan antara money politik uang (politik uang) dan ongkos politik. Ada sebuah pertanyaan: ketika membayar tukang becak 20 ribu untuk hadir meramaikan sebuah kampanye, apakah itu sebuah praktek money politik atau ongkos politik? Atau contoh lain, ketika membayar kehadiran sejumlah massa, per 1 juta untuk satu truk massa, apakah bisa disebut money politik atau ongkos politik?. Dalam sesi kampanye misalnya, kandidat kemudian membagikan kaos, sembako atau bahkan uang kepada peserta kampanye sebagai bentuk terima kasih pasangan kepada rakyat yang telah datang mendengar kampanye, apakah sebuah money politik atau ongkos politik?.
Banyak pelaku dalam hal ini kandidat meyakini aktivitas seperti tadi adalah sebagai tindakan yang memerlukan ongkos politik. Bagi mereka, membayar mereka yang datang sama halnya dengan kandidat lain yang mengeluarkan uang untuk biaya iklan di media massa. Kuatnya peredaran uang dalam dinamika pilkada atau pemilu semakin mengaburkan definisi tentang politik uang. Pada titik inilah kemudian praktek money politik memperoleh legitimasi social dari public. Harapan yang disampaikan peserta diskusi di Lombok sebagaimana disebut di atas merupakan bentuk kehendak legitimasi social. Kehendak itu muncul dari realitas social bahwa proses politik yang saat ini terjadi ditopang oleh pondasi ekonomi warga yang lemah. Sehingga fenomena money politik yang merepresentasikan pragmatisme politik mendapat keabsahan public. Ketika money politik mengalami keabsahan yang cukup kuat, maka fenomena kandidasi pilkada pun tidak perlu menghadirkan figure yang kuat, cerdas dan memiliki visi serta program kerja yang brilian. Sebab sederet perangkat itu tidak dibutuhkan oleh rakyat. Kalau mengikuti gejala pragmatisme masaa saat ini, maka figure yang kehendaki mereka adalah pihak atau kandidat yang memberikan kepuasan material. Sehingga muncullah komunikasi politik dari ara kandidat yang sangat tidak produktif. Misalnya para kandidat menghamburkan uang untuk amplop serangan fajar, pembagian uang ketika kampanye dll.
Dengan demikian, antara money politik dan ongkos politik harus memiliki batasan yang tegas. Dalam konteks ini, praktek money politik merupakan aktivitas yang secara tegas dan jelas mendorong, mengajak atau mempengaruhi pemilih untuk memilih pasangan tertentu dengan berupa iming-iming dan pemberian uang atau hal yang bersifat material. Sedangkan ongkos politik adalah biaya yang mesti dikeluarkan oleh pelaku politik atau kandidat untuk mensukseskan aktvitas politik tanpa bermaksud mendorong atau mempengaruhi pilihan politik pemilih dengan uang atau hal yang bersiat material. Artinya ketika membayar sekian ratus tukang becak untuk memeriahkan kampanye, hal itu bukan money politik, sama halnya ketika mesti membayar truk dan sound system kampanye serta pendukung kampanye lainya, maka kegiatan tersebut murni bagian dari ongkos politik. Namun apabila seorang kandidat kemudian memberikan amplop kepada peserta kampanye dengan disertai pesan dan kalimat minta dukungan, maka hal demikian disebut money politik. Tegasnya, aktivitas yang dilakukan untuk mempengaruhi pilihan atau mendorong pemilih untuk memilih pasangan tertentu dengan uang, maka hal yang demikian disebut money politik alias politik uang.
Dinamika pilkada dan pemilu akan terus mendampingi kehidupan demokrasi kita saat ini. Semakin mandirinya pemilih menentukan pilihannnya, tanpa intimidasi uang merupakan salah satu indicator suksesnya pilkada atau pemilu dan menjadi parameter semakin sehatnya demokrasi kita. Semoga