Gaung menyambut peringatan Sumpah Pemuda tahun ini nyaris tak terdengar. Padahal, peristiwa itu merupakan tonggak sejarah persatuan dan kesatuan bangsa yang mewarisi semangat nasionalisme para pemuda. Ikrar pemuda 80 tahun yang lalu itu menorehkan tiga inti gagasan perekat bangsa, yakni satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa,
Saat itu, para pemuda dengan kegalauan dan kerinduan akan kemerdekaan menyatukan tekad berjuang mengelorakan semangat nasionalisme dan patriotisme demi bangsa yang bersatu padu.
Persoalannya, masih relevankan Sumpah Pemuda diperingati di tengah kondisi idealisme pemuda yang semakin tidak jelas? Ataukah peringatan ini hanyalah romantisme sejarah kaula muda? Ataukah sekadar tradisi ritus belaka tanpa makna? Gugatan seperti ini layak dikemukakan meski tidak mudah untuk dijawab.
Di balik peristiwa dan makna Sumpah Pemuda, ada satu aspek yang sering kurang mendapat perhatian kita semua. Aspek yang kita maksudkan ini yaitu aspek nilai prakondisi dan prasyarat yang tidak bisa tidak ada. Selama ini, banyak yang lebih memerhatikan pada aspek objek-objek yang dipersumpahkan. Mereka membicarakan mengenai aspek kesatuan kebangsaan, tanah air, dan kesatuan bahasa. Ketiga aspek ini kemudian dijadikan sebagai bahan perbincangan, sekaligus bahan analisis terhadap kondisi bangsa dan negara ini. Namun sayangnya, kita khilaf terhadap prasyarat yang dapat membangun dan atau mewujudkan sumpah pemuda tersebut.
Prakondisi atau prasyarat yang tidak boleh tidak ada (conditio sine quanon) yaitu kesadaran kolektif bangsa untuk bersatu padu dalam membangun Indonesia Raya. Inilah prasyarat kesadaran nasionalisme
Mewacanakan ulang makna persatuan dan kesatuan adalah sesuatu hal yang penting secara akademik dan sosio politik. Namun, lebih penting lagi yaitu menunjukkan adanya kesadaran dan kemauan serta kemampuan untuk bersatu.
Libido politik yang ada lebih menunjukkan pada libido konflik atau perpecahan daripada persatuan dan kesatuan. Banyak hal yang menyebabkan orang berpecah, dan hanya satu yang menyebabkan orang bersatu, yaitu kepentingan untuk bersatu itu sendiri. Banyak hal yang menyebabkan mereka berpecah, dan elite politik kita lebih suka pada yang banyak tersebut.
Tampaknya teori dasar dari David McClelland (1988) yang menyatakan bahwa manusia itu memiliki sifat dasar untuk bersatu (need for affiliation) menjadi sulit ditemukan di negeri ini. Libido politik yang ada atau sifat dasar yang sering muncul adalah hasrat untuk mandiri yang disalahgunakan dengan hasrat memisahkan diri. Hasrat otonomi yang disalahgunakan dengan nafsu separatisme, hasrat bersatu yang bercampur aduk dengan nafsu untuk memisahkan diri. Tidak mengherankan bila kemudian muncul fenomena maraknya partai baru setelah dirinya merasa berbeda dengan partai induknya.
Mendirikan partai politik baru adalah sesuatu hal wajar dan hak setiap individu. Konstitusi memberikan perlindungan terhadap hasrat politik warga negara tersebut. Namun demikian, adakah hasrat untuk mengembangkan kesadaran bahwa mempertahankan dan mengembangkan partai yang ada pun adalah sebuah hak setiap individu?
Bila pandangan ini dipertahankan maka hipotesis McClelland tersebut tidak berlaku. Sebab ternyata, dalam sanubari politisi yang ada saat ini yaitu hasrat konflik dan memisahkan diri lebih besar daripada hasrat membesarkan partai sendiri. Berdasarkan pertimbangan ini, mengapa tidak ada sumpah politik, "Kami putra putri
Selanjutnya, pemuda hari ini harus melanjutkan sumpahnya sebagai refleksi Sumpah Pemuda. Pertama, pemuda perlu bersumpah untuk memerangi korupsi dalam setiap penyelenggaraan negara. Kedua, pemuda harus bersumpah tetap menjadi pelopor, bukan pelapor, apalagi menjadi pengekor. Ketiga, pemuda harus bersumpah untuk sadar dan melek hukum dan HAM. Keempat, pemuda harus bersumpah untuk lebih mengedepankan kepentingan bangsa dan negara. Kelima, pemuda harus bersumpah untuk turut mencerdaskan bangsa, mengentaskan kemiskinan, kemelaratan, dan kebodohan.
Dalam konteks global, kadang kita melihat banyak yang dapat menyebabkan martabat bangsa ini terinjak-injak dan terkoyak-koyak oleh bangsa lain. Ketidaksigapan dalam politik, manajemen pemerintahan, penguasaan NKRI, dan rendahnya kualitas SDM Indonesia, menjadi penyebab rendahnya martabat bangsa di hadapan negara lain. Bila hal ini dibiarkan, tidak mustahil akan menjadi penyebab terpecah belahnya kembali bangsa kita dan terjajah secara sosial politik oleh bangsa lain.
Dalam menghadapi tantangan saat ini, kita temukan bahwa tantangan zaman dan kebutuhan bangsa jauh lebih kompleks daripada tahun 1928. Dengan kata lain, bahwa kita membutuhkan penyatuan tekad ulang untuk menghadapi tantangan kekinian. Dengan demikian, momentum peringatan Sumpah Pemuda kali ini perlu dijadikan sebagai tonggak kebangkitan kaum muda untuk merevitalisasi nilai-nilai atau semangat Sumpah Pemuda demi masa depan yang lebih bermartabat. ***
Oleh : Cecep Darmawan ( Dosen Ilmu Politik dan Direktur Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan Universitas Pendidikan Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar