Gaung menyambut peringatan Sumpah Pemuda tahun ini nyaris tak terdengar. Padahal, peristiwa itu merupakan tonggak sejarah persatuan dan kesatuan bangsa yang mewarisi semangat nasionalisme para pemuda. Ikrar pemuda 80 tahun yang lalu itu menorehkan tiga inti gagasan perekat bangsa, yakni satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia. Dalam Kongres Pemuda 1928 tersebut, juga diputuskan lagu kebangsaan "Indonesia Raya" dan bendera Merah Putih.
Saat itu, para pemuda dengan kegalauan dan kerinduan akan kemerdekaan menyatukan tekad berjuang mengelorakan semangat nasionalisme dan patriotisme demi bangsa yang bersatu padu. Para pemuda menyadari betapa gerakan-gerakan perjuangan di berbagai daerah yang bersifat sporadis, parsial, dan tanpa sinergi, sangat rapuh dan mudah dipatahkan kaum imperialis-penjajah.
Persoalannya, masih relevankan Sumpah Pemuda diperingati di tengah kondisi idealisme pemuda yang semakin tidak jelas? Ataukah peringatan ini hanyalah romantisme sejarah kaula muda? Ataukah sekadar tradisi ritus belaka tanpa makna? Gugatan seperti ini layak dikemukakan meski tidak mudah untuk dijawab.
Di balik peristiwa dan makna Sumpah Pemuda, ada satu aspek yang sering kurang mendapat perhatian kita semua. Aspek yang kita maksudkan ini yaitu aspek nilai prakondisi dan prasyarat yang tidak bisa tidak ada. Selama ini, banyak yang lebih memerhatikan pada aspek objek-objek yang dipersumpahkan. Mereka membicarakan mengenai aspek kesatuan kebangsaan, tanah air, dan kesatuan bahasa. Ketiga aspek ini kemudian dijadikan sebagai bahan perbincangan, sekaligus bahan analisis terhadap kondisi bangsa dan negara ini. Namun sayangnya, kita khilaf terhadap prasyarat yang dapat membangun dan atau mewujudkan sumpah pemuda tersebut.
Prakondisi atau prasyarat yang tidak boleh tidak ada (conditio sine quanon) yaitu kesadaran kolektif bangsa untuk bersatu padu dalam membangun Indonesia Raya. Inilah prasyarat kesadaran nasionalisme Indonesia yang ada saat itu. Kesadaran ini pula yang kini hilang pada tataran kehidupan bangsa kita. Secara tidak langsung, masyarakat seolah-olah berpendirian bahwa kita perlu untuk menyatakan sumpah mengenai bahasa persatuan, keutuhan wilayah, dan kebangsaan, namun kurang (untuk tidak menyatakan "tidak perlu") merasa wajib terhadap rasa persatuan dan kesatuan Indonesia.
Mewacanakan ulang makna persatuan dan kesatuan adalah sesuatu hal yang penting secara akademik dan sosio politik. Namun, lebih penting lagi yaitu menunjukkan adanya kesadaran dan kemauan serta kemampuan untuk bersatu.
Libido politik yang ada lebih menunjukkan pada libido konflik atau perpecahan daripada persatuan dan kesatuan. Banyak hal yang menyebabkan orang berpecah, dan hanya satu yang menyebabkan orang bersatu, yaitu kepentingan untuk bersatu itu sendiri. Banyak hal yang menyebabkan mereka berpecah, dan elite politik kita lebih suka pada yang banyak tersebut.
Tampaknya teori dasar dari David McClelland (1988) yang menyatakan bahwa manusia itu memiliki sifat dasar untuk bersatu (need for affiliation) menjadi sulit ditemukan di negeri ini. Libido politik yang ada atau sifat dasar yang sering muncul adalah hasrat untuk mandiri yang disalahgunakan dengan hasrat memisahkan diri. Hasrat otonomi yang disalahgunakan dengan nafsu separatisme, hasrat bersatu yang bercampur aduk dengan nafsu untuk memisahkan diri. Tidak mengherankan bila kemudian muncul fenomena maraknya partai baru setelah dirinya merasa berbeda dengan partai induknya.
Mendirikan partai politik baru adalah sesuatu hal wajar dan hak setiap individu. Konstitusi memberikan perlindungan terhadap hasrat politik warga negara tersebut. Namun demikian, adakah hasrat untuk mengembangkan kesadaran bahwa mempertahankan dan mengembangkan partai yang ada pun adalah sebuah hak setiap individu?
Bila pandangan ini dipertahankan maka hipotesis McClelland tersebut tidak berlaku. Sebab ternyata, dalam sanubari politisi yang ada saat ini yaitu hasrat konflik dan memisahkan diri lebih besar daripada hasrat membesarkan partai sendiri. Berdasarkan pertimbangan ini, mengapa tidak ada sumpah politik, "Kami putra putri Indonesia, mengaku bersistem politik satu, yaitu sistem demokrasi kerakyatan. Kami putra putri Indonesia mengaku berideologi satu, yaitu ideologi Pancasila. Kami putra putri Indonesia menjunjung nilai-nilai persatuan, yaitu persatuan Indonesia."
Selanjutnya, pemuda hari ini harus melanjutkan sumpahnya sebagai refleksi Sumpah Pemuda. Pertama, pemuda perlu bersumpah untuk memerangi korupsi dalam setiap penyelenggaraan negara. Kedua, pemuda harus bersumpah tetap menjadi pelopor, bukan pelapor, apalagi menjadi pengekor. Ketiga, pemuda harus bersumpah untuk sadar dan melek hukum dan HAM. Keempat, pemuda harus bersumpah untuk lebih mengedepankan kepentingan bangsa dan negara. Kelima, pemuda harus bersumpah untuk turut mencerdaskan bangsa, mengentaskan kemiskinan, kemelaratan, dan kebodohan.
Dalam konteks global, kadang kita melihat banyak yang dapat menyebabkan martabat bangsa ini terinjak-injak dan terkoyak-koyak oleh bangsa lain. Ketidaksigapan dalam politik, manajemen pemerintahan, penguasaan NKRI, dan rendahnya kualitas SDM Indonesia, menjadi penyebab rendahnya martabat bangsa di hadapan negara lain. Bila hal ini dibiarkan, tidak mustahil akan menjadi penyebab terpecah belahnya kembali bangsa kita dan terjajah secara sosial politik oleh bangsa lain.
Dalam menghadapi tantangan saat ini, kita temukan bahwa tantangan zaman dan kebutuhan bangsa jauh lebih kompleks daripada tahun 1928. Dengan kata lain, bahwa kita membutuhkan penyatuan tekad ulang untuk menghadapi tantangan kekinian. Dengan demikian, momentum peringatan Sumpah Pemuda kali ini perlu dijadikan sebagai tonggak kebangkitan kaum muda untuk merevitalisasi nilai-nilai atau semangat Sumpah Pemuda demi masa depan yang lebih bermartabat. ***
Oleh : Cecep Darmawan ( Dosen Ilmu Politik dan Direktur Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan Universitas Pendidikan Indonesia)
Istilah kepemimpinan merupakan terjemahan resmi dari leadership yang sebenarnya merupakan suatu istilah yang belum terlampau lama digunakan dalam bahasa Inggeris. Mar’at mengatakan, “The Oxford English Dictionary (1933) mencatat bahwa kata pemimpin dalam bahasa Inggeris muncul pada tahun 1300. Bagaimanapun, kata ‘kepemimpinan’ belum muncul sebelum tahun 1800.”[1] Sejauh ini belum ada penelitian khusus tentang kapan kata “pemimpin” dan “kepemimpinan” mulai digunakan dalam bahasa Indonesia.
Untuk memahami apa arti istilah kepemimpinan (leadership) itu maka ada baiknya dikemukakan beberapa definisi yang dibuat oleh para ahli manajemen. Sebenarnya ada banyak definisi yang telah dibuat oleh para ahli, bahkan dapat dikatakan bahwa hampir setiap ahli membuat definisinya sendiri, namun untuk saat ini hanya tiga definisi yang akan dikemukakan yang diharapkan dapat membantu kita untuk memahami apa sebenarnya kepemimpinan itu.
George A. Terry mengatakan bahwa “leadership is the relationship in which one person, or the leader, influences others to work together willingly on related tasks to attain that which the leader desires.”[2] Jadi bagi Terry, kepemimpinan ialah upaya untuk mempengaruhi orang-rang lain agar secara sukarela orang-orang itu bekerja sama untuk mencapai apa yang dikehendaki oleh si pemimpin.
Harold Koontz dan Heinz Weihrich mengatakan bahwa kepemimpinan itu adalah “the art or process of influencing people so that they will strive willingly and enthusiastically toward the achievement of group goals.”[3] Senada dengan Terry, Koontz dan Weihrich juga berpendapat bahwa kepemimpinan itu adalah keahlian atau proses untuk mempengaruhi orang-orang agar supaya orang-orang itu bersedia dengan penuh semangat bekerja keras demi tercapainya tujuan kelompok.
James A.F. Stoner dan Charles Wankel mengatakan bahwa kepemimpinan adalah “the process of directing and influencing the task-related activities of group members.” [4] Jadi bagi mereka, kepemimpinan itu merupakan proses mengarahkan dan mempengaruhi kegiatan hubungan kerja anggota kelompok yang terkait. Dari ketiga definisi tersebut di atas terlihat beberapa unsur penting dalam kepemimpinan, yaitu: pemimpin, proses mengarahkan dan proses mempengaruhi, orang lain (yang dipimpin), dalam kegiatan untuk mencapai tujuan. Berdasarkan unsur-unsur penting itu, kita dapat menyusun suatu definisi kepemimpinan dalam bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, sebagai berikut:
Kepemimpinan adalah suatu proses dari kegiatan para pemimpin untuk mengarahkan dan mempengaruhi orang lain agar supaya mereka bersedia bekerjasama demi mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2. Teori-Teori Kepemimpinan Modern
Di zaman modern, telah berkembang beberapa konsep tentang kepemimpinan yang sering disebut sebagai teori kepemimpinan. Konsep-konsep atau teori-teori kepemimpinan yang sangat terkenal antara lain adalah sebagai berikut:
1). Teori Sifat (Trait Theory) 2). Teori Perilaku (Behavior Theory)
a. Studi Kepemimpinan Universitas Iowa b. Studi Kepemimpinan Universitas Ohio c. Studi Kepemimpinan Universitas Michigan d. Dll.
3). Teori Situasional (Situational Theory)
a. Model Kontinjensi b. Model Kontinum c. Teori Path-Goal d. Dll.
a. Teori Sifat (Trait Theory)
Konsep kepemimpinan ini berkembang dari suatu keyakinan yang telah bertumbuh sejak jaman Yunani purba dan zaman Romawi yang menyatakan bahwa seorang pemimpin itu dilahirkan bukan dibuat! Teori yang didasarkan keyakinan demikian dikenal sebagai teori hereditas. Kemudian berkembang pula teori baru yang disebut teori karakter fisik (physical characteristic theory) yang dipelopori oleh W.H. Sheldon[5] yang bersama dengan S.S. Steven menerbitkan buku The Varieties of Human Phisique. Kemudian berkembang pula teori yang mengatakan bahwa sifat-sifat kepemimpinan dapat diperoleh lewat latihan dan bukan semata-mata karena warisan keturunan.
b. Teori Perilaku (Behavior Theory)
Teori perilaku didasarkan pada pemikiran bahwa sukses tidaknya seorang pemimpin tergantung pada perilaku si pemimpin itu sendiri dalam memberi tugas, dalam berkomunikasi, dalam mengambil keputusan dan sebagainya. Studi Kepemimpinan yang dilakukan oleh Iowa University di bawah pimpinan Ronald Lippitt dan Ralph K. White[6] mengemukakan tiga perilaku kepemimpinan, yaitu: autocratic, democratic dan laissez-faire. Studi kepemimpinan yang dilakukan Ohio University di bawah pimpinan Carrol Shartle mengemukakan bahwa perilaku kepemimpinan itu dibedakan ke dalam dua faktor independen, yakni yang disebut prakarsa struktur (initiating structure) dan konsiderasi (consideration). Seorang pemimpin itu berhasil apabila prakarsa struktur tugas dan konsiderasi terhadap bawahan sama-sama tinggi. Studi kepemimpinan yang dilakukakan oleh Survey Research Center, University of Michigan sejak tahun 1947 mengetengahkan perilaku kepemimpinan yang terdiri dari 2 faktor yang saling bergantung. Kedua faktor perilaku kepemimpinan itu ialah yang berpusat perhatian pada karyawan (the employee-centered) dan yang berpusat perhatian pada tugas (the job-centered). Kedua pusat perhatian itu dapat digambarkan sebagai kedua titik ujung dari satu garis lurus. Seorang pemimpin dapat berperilaku diantara kedua titik itu. Dan kesimpulan penelitian yang sangat menarik dari hasil penelitian Universitas Michigan ialah bahwa pemimpin yang lebih berpusat pada karyawan ternyata lebih berhasil dari pada pemimpin yang berpusat pada tugas.
c. Teori Situasional (Situational Theory).
Teori situasional merupakan konsep kepemimpinan yang menjadikan situasi organisasional dengan memperhitungkan faktor ruang dan waktu, sebagai dasar pertimbangan utama untuk menyelenggarakan kepemimpinan yang tepat. Misalkan saja untuk situasi dan kondisi X , gaya kepemimpinan A yang cocok digunakan, untuk situasi dan kondisi Y , gaya kepemimpinan B yang tepat digunakan, dan untuk situasi dan kondisi Z , gaya kepemimpinan C yang paling efektif.
Ada beberapa model kepemimpinan yang didasarkan pada teori situasional itu, yakni: Model Kontinjensi, Model Kontinum, Teori Path-Goal, dsb. Model Kontinjensi adalah temuan dari Fred E. Fiedler. Fiedler mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat menjadi pemimpin yang efektif dengan hanya menggunakan satu macam gaya kepemimpinan untuk semua situasi. Dalam bukunya yang berjudul A Theory of Effective Leadership ia memberikan tiga ciri situasional yang mempengaruhi efektivitas kepemimpinan, yaitu: (a) hubungan atasan-bawahan yang merupakan variabel paling kritis dalam menentukan situasi yang menguntungkan, (b) Derajat struktur tugas, merupakan input kedua terpenting bagi situasi yang menguntungkan, dan (c) Posisi kewenangan yang diperoleh pemimpin lewat format otoritas, merupakan dimensi paling kritis ketiga dari situasi.
Dalam analisis penelitiannya, Fiedler mengkategorikan hubungan atasan-bawahan dengan baik dan buruk, untuk struktur tugas diberi kategori tinggi dan rendah, sedangkan untuk posisi kewenangan diberi kategori kuat dan lemah. Seorang pemimpin akan berhasil, jika: hubungan atasan-bawahan baik, struktur tugas tinggi, dan posisi kewenangan kuat.
Model Kontinum diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Tannenbaum dan Schmidt dalam Harvard Business Review, edisi Maret-April 1958. Mereka mengemukakan adanya suatu kontinum gaya kepemimpinan yang terentang dari titik boss-centered leadership hingga ke titik subordinate centered leadership, atau dari gaya kepemimpinan otokratis ke gaya kepemimpinan demokratis. Dan untuk menentukan gaya kepemimpinan yang tepat pada situasi tertentu, maka ada tiga variabel yang harus dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh, yaitu: (a) kekuatan pemimpin, misalnya kemampuan intelektual, pendidikan, kepribadian, dsb. (b) kekuatan bawahan, misalnya bertanggung jawab, berpengalaman, loyal dsb., dan (c) kekuatan situasi, misalnya suasana organisasi, waktu yang mendesak, dan faktor-faktor lingkungan lainnya. Teori Path-Goal menjelaskan impak perilaku pemimpin terhadap motivasi, kinerja, prestasi dan kepuasan bawahan. Teori Path-Goal mengetengahkan empat gaya kepemimpinan, yaitu: (a) Directive Leadership, (b) Supportive Leadership, (c) Participative Leadership, dan (d) Achievement Oriented Leadership. Robert House menamai teori ini sebagai teori Path-Goal oleh karena seorang pemimpin yang berhasil haruslah menjelaskan jalan (path) untuk mencapai tujuan (goal). Teori ini mengatakan bahwa seorang pemimpin yang sama dapat mempergunakan berbagai gaya kepemimpinan dalam situasi yang berbeda-beda, yang penting, seorang pemimpin itu harus motivatif dan edukatif dalam arti melengkapi bawahan dengan pengetahuan dan ketrampilan demi efektivitas tugas yang dikerjakannya.
Teori-Teori Kepemimpinan Kontemporer
Sekarang ini telah lahir berbagai teori kepemimpinan, antara lain kepemimpinan visioner (visioner leadership), kepemimpinan gelombang (waves leadership), kepemimpinan integrative (integrative leadership), kepemimpinan pelayan (servant leadership), kepemimpinan berpusat prinsip (principle-centered leadership), kepemimpinan quantum (quantum leadership), kepemimpinan transaksional (transacsional leadership), kepemimpinan transformasional (transformational leadership), dan lain-lain.
Namun berikut ini, hanya lima teori kepemimpinan kontemporer yang akan dibicarakan secara ringkas, yakni: kepemimpinan berpusat prinsip (principle-centered leadership), kepemimpinan kuantum (quantum leadership), kepemimpinan transaksional (transacsional leadership), kepemimpinan transformasional (transformational leadership).
a. Kepemimpinan Pelayan (Servant Leadership)
Kepemimpinan pelayan (servant leadership) merupakan salah satu teori dan model kepemimpinan kontemporer yang dipelopori oleh Robert K. Greenleaf lewat bukunya yang sangat terkenal, yang berjudul, Servant Leadership. Gagasan tentang kepemimpinan pelayan (servant leadership) mulai bersemi dalam pemikiran Robert K. Greenleaf ketika ia mengikuti kuliah seorang professor tua yang mengatakan demikian:
There is a new problem in our country. We are becoming a nation that is dominated by large institusions---churches, business, governments, labor unions, universities---and these big institutions are not serving us well. I hope that all of you will be concerned about this. Now you can do as I do, stand outside and criticize, bring pressure if you can, write and argue about it. All of this may do some good. But nothing of substance will happen unless there are people inside these institutions who are able to (and want to) lead them into better performance for the public good. Some of you ought to make careers inside these big institutions and become a force for good---from the inside.[7]
Idea tentang pelayan sebagai hamba atau pelayan mulai memperoleh bentuk ketika Greenleaf membaca sebuah buku yang berjudul Journey to the East, yang ditulis oleh
Hermann Hesse. Greenleaf mengatakan:
In this story we see a band of men on a mythical journey, probably also Hesse’s own journey. The central figure of the story is Leo who accompanies the party as the servant who does their menial chores, but who also sustains them with his spirit and his song. He is a person of extraordinary presence. All goes well until Leo disappears. Then the group falls into disarray and the journey is abondened. They cannot make it without the servant Leo. The narrator, one of the party, after some years of wandering finds Leo and is taken into the Order that had sponsored the journey. There he discoveres that Leo, whom he had known first as servant, was in fact the titular head of the Order, its guiding spirit, a great and noble leader.[8]
Dari kisah si Leo sang pelayan itu, Greenleaf mengembangkan suatu konsep kepemimpinan, bahwa sesungguhnya seorang pelayan adalah seorang pemimpin, dan seorang pemimpin haruslah menjadi seorang pelayan lebih dahulu. Membaca buku Servant Leadership karangan Greenleaf, akan terlihat bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan kepemimpinan pelayan itu, tidak lain daripada suatu konsep kepemimpinan yang bertumpu pada cara mempengaruhi orang lain lewat keteladanan.[9] Jadi dalam konsep kepemimpinan pelayan (servant leadership), seorang pemimpin sejati adalah seorang yang memimpin (mempengaruhi orang lain) lewat perbuatannya yang memberi inspirasi bagi orang lain dan mendorong orang lain untuk bertindak demi mencapai tujuan yang hendak dicapai.
b. Kepemimpinan Berpusat Prinsip (Principle-Centered Leadership)
Mengapa banyak perusahaan yang mengalami kegagalan, dan mengapa banyak pemimpin yang tidak dapat bertahan di tengah perubahan yang terjadi begitu cepat sekarang ini, adalah karena mereka tidak lagi berpegang pada prinsip awal yang mereka yakini, demikian kira-kira jalan pikiran Stephen R. Covey yang dituangkannya dalam bukunya yang berjudul, Principle-centered Leadership. Apakah kepemimpinan yang berpusat prinsip itu? Covey mengatakan, “Principle-centerd leadership introduces a new paradigm—that we center our lives and our leadership of organizations and people on certain ‘true north’ principles.”[10] Tentang prinsip-prinsip utama yang benar itu (certain ‘true north’ principles), Covey mengatakan,
Principles are not invented by us or by society; they are the laws of the universe that pertain to human relationships and human organizations. They are part of the human condition, consciousness, and conscience. To the degree people recognize and live in harmony with such basic principles as fairness, equity, justice, integrity, honesty, and trust, they move toward either survival and stability on the one hand or disintegration and destruction on the other.[11]
Dari ungkapan Covey tersebut di atas, ia berpendapat bahwa prinsip-prinsip itu tidak diciptakan oleh manusia atau oleh masyarakat, melainkan merupakan hukum alam tentang relasi antar manusia dan organisasi-organisasi manusia. Prinsip-prinsip itulah yang menentukan jatuh bangunnya manusia dan organisasi-organisasi-nya. Manusia dan organisasi-organisasinya akan tetap eksis apabila mereka hidup selaras dengan prinsip-prinsip itu, tetapi jika mereka hidup tidak selaras dengan prinsip-prinsip tersebut, maka manusia dan organisasi-organisasinya akan mengalami desintegrasi dan destruksi.
Kepemimpinan berpusat prinsip itu bukanlah suatu tindakan dari luar ke dalam, melainkan dari dalam keluar yang dilakukan dalam empat jenjang. Covey mengatakan: Principle-centered leadership is practiced from the inside out on four levels: 1) personal (my relationship with myself); 2) interpersonal (my relationships and interactions with others); 3) managerial (my responsibility to get a job done with others); and 4) organizational (my need to organize people—to recruit them, train them, compensate them, build teams, solve problems, and create aligned structure, strategy, and systems).[12]
Mengenai karakteristik para pemimpin yang berpusat pada prinsip, Covey menjelaskan bahwa 1) Mereka adalah orang-orang yang terus-menerus belajar dari pengalaman, mereka membaca, mereka mengikuti pelatihan-pelatihan dan kursus-kursus, mereka mendengarkan orang lain, mereka belajar dengan kedua telinga dan mata mereka, mereka selalu bertanya dan meningkatkan kompetensi mereka, dan se bagainya. 2) Mereka memandang kehidupan itu sebagai suatu misi dan bukan sebagai karir. Mereka adalah orang-orang yang telah dipersiapkan untuk melayani.
Berprinsip berarti berani menanggung beban pelayanan, tanpa kesediaan untuk melayani berarti gagal. 3) Mereka senantiasa memancarkan energi positif lewat sikap hidup yang gembira, menyenangkan, bahagia, optimis, positif dan selalu bergairah, antusias, dan penuh pengharapan. 4) Mereka mempercayai orang lain, mereka tidak bereaksi berlebihan terhadap perilaku negatif, mereka tidak merasa diri hebat dan tidak naïf. Mereka sadar akan keterbatasan mereka. 5) Mereka hidup seimbang, tidak berlebihan, dapat mengendalikan diri, dan bijak. 6) Mereka cepat beradaptasi, kendatipun tidak mudah dipengaruhi, dan mereka fleksibel. 7) Mereka sinergistis, produktif dan kreatif. 8) Mereka terus berlatih secara teratur, fisik, mental, emosi dan spiritual. Mereka terus menerus membaharui diri untuk menghasilkan karakter yang kuat dan sehat, dan dengan demikian menjadi katalis perubahan dan pembaruan.[13]
c. Kepemimpinan Quantum (Quantum Leadership)
Dalam bukunya yang berjudul Leadership and The New Science, Margaret J. Wheatly coba menerapkan teori quantum dalam kepemimpinan dan organisasi.[14] Ia mengatakan bahwa fisika quantum pada asasnya adalah partisipasi dan oleh karena itu pada hakikatnya sejalan dengan kepemimpinan partisipatif.[15] The Jakarta Consulting Group (JCG) mengembangkan suatu konsep kepemimpinan quantum (quantum leadership) “yang berorientasi pada masa depan dengan komitmen untuk dapat ‘melihat dan bermimpi’, ‘mengubah’, serta ‘menggerakkan’ anak buah ke arah tujuan yang direncanakan.”[16]
Dalam quantum leadership, seorang pemimpin harus berperan sebagai, Direction setter, counselor, career maker, change agent, charger, dan confidence builder. Direction setter berarti seorang quantum leader berfungsi sebagai penentu arah berjalannya organisasi. Dalam artian, quantum leader-lah yang men-set arah pengembangan organisasi di masa datang.Tentu saja, dengan masukan dan saran dari para anggota organisasi. Counselor berarti quantum leader bertindak sebagai penasihat bagi anggota organisasi yang dipimpinnya. Apabila terjadi konflik internal yang gawat, maka pemimpin berkewajiban untuk turun tangan. Career maker berarti quantum leader men-set jenjang karir yang ada dalam organisasinya sedemikian rupa sehingga seluruh anggota organisasi mempunyai kesempatan yang sama untuk mengembangkan kemampuan diri dengan sebaik-baiknya.
Peran sebagai change agent berarti quantum leader berfungsi sebagai agen perubah dalam organisasi. Jika organisasi dirasakan sulit untuk maju, pemimpin sebagai agen perubah harus ‘menciptakan’ perubahan dalam organisasi. Peran quantum leader sebagai charger adalah menjadi ‘suntikan kekuatan’ jika ‘baterai’ energi anggota organisasi hampir habis. Sedang peran quantum leader sebagai confidence builder adalah untuk membangun rasa percaya diri di dalam jiwa tiap individu dalam organisasi yang dipimpinnya…[17]
d. Kepemimpinan Transaksional (Transactional Leadership)
Kepemimpinan transaksional (transactional leadership) adalah teori kepemimpinan yang dikembangkan oleh Bernard M. Bass. Bass mengatakan bahwa “kepemimpinan transaksional adalah model kepemimpinan dimana pemimpin selalu melakukan pertukaran-pertukaran dengan yang dipimpin untuk mencapai sesuatu yang diinginkan pemimpinnya.”[18] Dalam kepemimpinan transaksional, pemimpin selalu memotivasi pengikutnya dengan berbagai insentif termasuk kenaikan gaji. Transaksi antara pimpinan dengan bawahan dianggap sebagai yang paling penting dibanding relasi interpersonal dan emosi yang mewarnainya.[19]
Ada empat dimensi dalam kepemimpinan transaksional:
1. Contigent rewards adalah hadiah-hadiah yang diberikan secara timbale balik, yang disepakati bersama untuk mencapai tujuan tertentu. Misal pemimpin akan memberikan kita bonus tertentu jika kita dapat mencapai target yang ditetapkan.
2. Active management by exception melibatkan pengawasan atas penyimpangan- penyimpangan dari peraturan atau standard dan mengambil tindakan-tindakan korektif. Misal, pemimpin baru memperhatikan kita jika dinilai mulai melakukan penyimpangan-penyimpangan.
3. Passive management by exception melibatkan intervensi terhadap bawahan jika peraturan atau standar yang telah ditetapkan tidak dapat dilaksanakan. Misal, pemimpin baru datang kepada anak buahnya ketika persentase kesalahan dinilai sudah tidak bisa ditolerir
4. Laissez faire adalah gaya kepemimpinan dimana pemimpin melepaskan tanggungjawab serta menghindari diri mengambil keputusan yang diperlukan untuk melakukan suatu tindakan.[20]
e. Kepemimpinan Transformasional (Transformational Leadership)
Kepemimpinan kontemporer yang sangat populer sekarang ini ialah kepemimpinan transformatif (transformative leadership) atau kepemimpinan transformasional (transformational leadership).[21] Istilah transforming leadership digunakan pertama kali oleh James MacGregor Burns dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1978, berjudul “Leadership” yang memenangkan hadiah Pulitzer.[22] Menurut Burns, para pemimpin transformatif mengedepankan nilai-nilai moral para pengikut untuk meningkatkan keyakinan mereka tentang berbagai isu etika dan memobilisasi daya dan sumber daya mereka untuk mereformasi sesuatu.[23]
Kemudian Bernard M. Bass dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1985, berjudul Leadership and Performance beyond Expectations mengembangkan studi tentang kepemimpinan transformatif itu.[24] Menurut Bass, ada empat perilaku kepemimpinan transformatif[25] yang membedakannya dari teori kepemimpinan lainnya, yakni:
1. Idealized Influence, perilaku pimpinan yang menggunakan cita-cita untuk mempengaruhi orang lain. Perilaku ini mampu menumbuhkan emosi yang amat kuat bagi pengikut.
2. Intelectual Stimulation. Perilaku kepemimpinan yang mendorong pengikut/orang lain secara intelektual.
3. Individualized Consideration. Perilaku kepemimpinan yang senantiasa memberi perhatian secara individual, termasuk memberi dukungan, membangun semangat dan memberikan bimbingan kepada pengikutnya.
4. Inspirational Motivation, perilaku kepemimpinan yang selalu memberi semangat dan memberi motivasi secara inspirasional kepada pengikutnya.
Menurut E. Martasudjita, Pr., seorang pemimpin yang transformatif ialah:
1. Menjadi seorang yang mampu terus belajar, yakni mampu untuk mendengar-kan, membaca, menangkap masalah, menganalisa, mempertimbangkan macam-macam hal dan faktor, berwawasan luas, mampu berdialog, peka pada tanda-tanda zaman dan mau berkembang serta mengubah diri pula.
2. Menjadi komunikator yang baik, yang mampu menyampaikan sesuatu dengan jelas, tegas tetapi bijaksana dan enak, mampu mengungkapkan perasaan secara seimbang, mampu merumuskan sesuatu dengan tepat dan inspiratif, mampu menghubungkan hal yang sekarang dengan yang lampau dan masa depan, dan mampu membangkitkan semangat anggota untuk bekerja giat dan hidup baik.
3. Menjadi pemersatu, seperti seorang dirigen dalam orkestra, yang mampu memadukan aneka kekayaan dan kekhasan masing-masing anggota bagi kebaikan keseluruhan. Ia juga mampu membuat para anggota merasa at home dan merasa dirinya penting bagi komunitas. Seorang pemimpin komunitas tentunya memiliki kemampuan untuk mempersatukan, dan bukannya malah suka berpihak pada anggota tertentu, atau menganak-emaskan anggota tertentu dan memusuhi anggota yang lain. Dan yang penting lagi, para anggotanya juga merasakan rasa kebersamaan dan kesatuan itu.
4. Menjadi orang yang mampu dan berani membuat keputusan yang tepat dan bijaksana bagi kebaikan seluruh komunitas atau tarekat dan pihak-pihak yang terkena oleh keputusan itu. Ia pun harus berani ambil risiko dan menanggungya.
5. Menjadi orang yang bersemangat dalam melayani proses transformasi komunitas, bagi kemajuan dan kebaikan komunitas, gereja, dan masyarakatnya…
6. Menjadi orang yang bisa mengerjakan seperti yang dikerjakan Yesus dalam perjalanan-Nya ke Emaus bersama dua murid itu. Disitu seperti Yesus, pemimpin harus memiliki visi dan arah (bagaimana kelompok harus diarahkan), mendorong, mendengarkan, mengajak refleksi dan bertanya bagi penemuan kehendak Allah, memberi informasi, menarik implikasi-implikasi, mampu menghubung-hubungkan dan membagikan roti kepada teman perjalanan.
7. Menjadi pendoa. Seorang pemimpin yang baik tentu rajin berdoa untuk kawannya, teman-teman sekomunitas, umatnya atau pun orang yang dipercayakan kepadanya. Ia perlu juga menjadi seorang yang hidup rohani dan doanya mendalam, sebagaimana terungkap dalam kata dan tindakan sedemikian rupa sehingga orang lain merasa damai dan tenang bersamanya.[26]
Dengan demikian, jelas terlihat bahwa esensi dari kepemimpinan trans-formatif ialah kepemimpinan yang mengubahkan. Kepemimpinan yang mengubahkan itu adalah juga kepemimpinan partisipatif, yang selalu memberi tempat bagi orang lain untuk ikut berperan. Dan kepemimpinan yang mengubahkan itu adalah juga kepemimpinan yang memberdayakan. Kepemimpinan yang mengubahkan adalah kepemimpinan yang menyebab-kan terjadinya perubahan. Pimpinan dalam kepemimpinan yang mengubahkan itu adalah agen perubahan. Perubahan itu terjadi mulai dari diri si pemimpin itu sendiri, bukan hanya cara berpikir dan cara bekerjanya saja, tetapi juga perubahan secara eksistensial.[27]
Seorang pemimpin transformatif haruslah seorang yang memiliki “komitmen penuh dan tentu saja keberanian untuk menerima dampak positif dan negatif”[28] dalam mengelola perubahan. Selain itu, pemimpin yang mengubahkan itu “dalam melaksanakan suatu perubahan” hendaknya “dapat senantiasa menghidupkan ‘faith’ dan ‘hope’.”[29] Itu berarti bahwa pemimpin yang mengubahkan itu harus memiliki iman dan pengharapan yang teguh.
Selanjutnya, A.B. Susanto mengatakan bahwa seorang pemimpin transformatif adalah seorang pemimpin yang “harus dapat bersikap sebagai teman yang dapat dipercaya, terutama dalam kondisi-kondisi kristis.”[30] Yesus telah meninggalkan teladan dalam hal itu. Cindy Maddox mengatakan “bahwa Yesus adalah teman yang dapat dipercaya dalam kondisi apa pun.”[31]
Pemimpin sebagai agen perubahan haruslah memiliki kerendahan hati, kewaspadaan dan keberanian. Ia harus memiliki kerendahan hati agar tidak terlena oleh kesuksesan dan tidak jatuh dalam kecongkakan yang dapat berbalik dan menghantam diri sendiri.[32] Pemimpin sebagai agen perubahan itu harus senantiasa waspada dan siap siaga terhadap berbagai perubahan situasi dan perkembangan[33] yang terjadi. Pemimpin transformatif haruslah juga “berani mendobrak”[34] kondisi yang tidak menguntungkan. Perubahan memerlukan dukungan. Oleh karena itu, pemimpin yang mengubahkan itu memerlukan dukungan dari orang lain. Ia harus “dapat menghimpun kekuatan dari seluruh jajaran anggotanya. Dengan kata lain, perubahan membutuhkan dukungan penuh”[35] dari orang lain. Dengan demikian kita melihat bahwa seorang pemimpin sebagai agen perubahan, haruslah seorang yang memiliki komitmen penuh, keberanian, iman, pengharapan, kerendahan hati, kewaspadaan, dan memperoleh dukungan dari orang lain.
Kepemimpinan transformatif, sesungguhnya berlandaskan pada kepemimpinan partisipatif. Prinsip pokok dalam kepemimpinan partisipatif adalah “melibatkan sebanyak mungkin orang dalam segala hal.”[36] Selanjutnya E. Martasudjita mengatakan bahwa kepemimpinan yang melibatkan semua orang dalam segala hal tentu mengandaikan beberapa hal sebagai berikut:
1) Pola relasi dan hubungan dalam komunitas itu sungguh-sungguh pola relasi SATU TIM. Dalam pola hubungan TIM itu, setiap anggota memiliki suara dan dianggap penting.
2) Keterlibatan anggota tidak hanya dianjurkan tetapi menentukan hidup komunitas itu. Entah bagaimana kehidupan komunitas itu memungkinkan keterlibatan warga secara optimal dan maksimal.
3) Kehidupan komunitas dan kepemimpinannya menyuburkan semangat orang untuk berinisiatif. Setiap anggota merasa dilibatkan dan merasa bebas untuk berpendapat dan berinisiatif, juga kalau berbeda dengan pendapat sang pemimpin komunitas.
4) Cara kerja dalam komunitas itu selalu berasaskan prinsip subsidiaritas dan desentralisasi.[37]
Anthony D’Souza yang pernah menjadi konsultan PBB dalam pengembangan Sumber Daya Manusia mengatakan bahwa para pemimpin partisipatif pada umumnya memiliki karakteristik sebagai berikut:
1) Pada umumnya mereka berupaya mengembangkan efektivitas kelompok dalam pelaksanaan tugas.
2) Mereka mendorong anggota kelompok mereka untuk mengemukakan gagasan-gagasan dan perasaan-perasaan mereka, karena mereka yakin bahwa dalam iklim yang demikian itu akan bertumbuh kreativitas dan komitmen yang lebih besar.
3) Apabila mereka menghadapi penolakan atau konflik, mereka meminta bantuan kelompok untuk memecahkan persoalan tersebut.
4) Mereka mendorong pengambilan keputusan bersama sebagaimana mereka mendorong penetapan tujuan secara bersama-sama.
5) Mereka tidak pernah membuat kebijakan-kebijakan tanpa menjelaskan terlebih dahulu alasan pengambilan kebijakan itu, dan ketika kebijakan itu dirancang mereka menawarkannya kepada kelompok untuk memperoleh saran-saran dan kritik-kritik yang membangun.
6) Mereka percaya bahwa tanggung jawab penyelesaian tugas lebih banyak bergantung pada kelompok daripada bergantung pada diri mereka sendiri. Mereka berupaya membangun sikap seperti itu pada seluruh anggota kelompok.
7) Sekali anggota-anggota kelompok itu telah menunjukkan kemampuan kerja mereka, maka para pemimpin itu memberi kebebasan yang cukup kepada anggota-anggota kelompok untuk menyelesaikan tugas mereka.
8) Mereka terus mencari cara yang lebih baik untuk melakukan pekerjaan, dan mereka terbuka untuk mengubahnya jika mereka diyakinkan bahwa perubahan itu perlu karena akan menghasilkan efektivitas yang lebih besar.
9) Mereka percaya pada efektivitas kelompok kerja. Mereka juga percaya bahwa kelompok yang terdiri dari individu-individu yang berkomitmen tinggi memiliki potensi yang lebih besar daripada jika anggota-anggota kelompok itu bekerja sendiri-sendiri.[38]
Dengan demikian jelas terlihat bahwa esensi dari kepemimpinan partisipatif ialah pelibatan anggota kelompok atau anggota komunitas dalam seluruh kegiatan kepemimpinan. Hal itu bertolak pada pemahaman bahwa hasil yang dicapai dalam kebersamaan (kelompok atau komunitas) selalu jauh lebih besar (baik kualitas maupun kuantitas) dari pada hasil yang dapat dicapai secara individual. Kepemimpinan transformatif bukan hanya kepemimpinan yang meng-ubahkan, dan kepemimpinan partisipatif, tetapi juga kepemimpinan yang mem-berdayakan.
Mengenai pemberdayaan, E. Martasudjita menjelaskan: Istilah pemberdayaan merupakan terjemahan kata Inggris empowerment. Konsep ini sebenarnya amat kompleks dan memiliki latar belakang histories, cakupan makna, dan arah yang tidak sederhana. Konsep pemberdayaan lahir sebagai bagian dari perkembangan dan alam pikiran Barat yang dipengaruhi oleh aliran posmo atau post-modernisme yang menekankan pada semangat: antisistem, antistruktur dan antideterminisme. Menurut akar katanya, pemberdayaan (empowerment) memang amat bersangkut-paut dengan masalah kekuasaan (power).
Kekuasaan di sini tidak hanya sebatas kekuasaan politik saja, melainkan juga kekuasaan dalam arti luas dan menyentuh berbagai segi kehidupan. Konsep pemberdayaan dituntut oleh situasi dan kondisi manusia yang mengalami ketidakberdayaan. Pada konteks kehidupan manusia yang menyeluruh, orang dapat menyimpulkan arti dasar pemberdayaan sebagai upaya untuk memanusiakan manusia. Dengan demikian pemberdayaan menunjuk upaya agar manusia dapat mengungkapkan dan melaksanakan dirinya. Manusia menjadi mampu mengungkapkan dirinya, keunikan, kekayaan dan karunia yang dimilikinya.[39]
Jadi kepemimpinan yang memberdayakan adalah kepemimpinan yang membuat setiap orang berkembang seoptimal mungkin sesuai dengan kapasitas dirinya. Pemberdayaan adalah juga pembebasan. Pembebasan dari berbagai belenggu yang membatasi ruang gerak diri seseorang untuk bertumbuh dan berkembang. E. Martasudjita mengatakan bahwa kepemimpinan yang memberdayakan adalah kepemimpinan “yang memberi ruang gerak dan kebebasan sehingga orang dapat berkembang menurut citra Allah…Allah selalu memberi kebebasan pada manusia, dan Allah selalu berani ambil resiko bahwa manusia itu mungkin menyalahgunakan kebebasannya.”[40]
Seorang pemimpin yang memberdayakan akan selalu memberi kebebasan bagi setiap orang dalam kelompok atau dalam komunitasnya. Resikonya, mungkin ada orang yang akan menyalahgunakan kebebasan itu, tetapi itu justru merupakan bagian dari pemberdayaan.***
Daftar Pustaka
[1] Mar’at, Pemimpin dan Kepemimpinan (Jakarta: Ghalia Indonesia,1984), 8. [2] George R. Terry, Principles of Management (Homewood, Illinois: Richard D. Irwin, 1972), p. 458. [3] Harold Koontz and Heinz Weihrich, Management (Singapore: McGraw-Hill Book Company, 1988), p. 437. [4] James A.F.Stoner and Charles Wankel, Management (New Delhi: Prentice-Hall of India, 1987), p. 445. [5] Robert J. Thierauf, Robert C. Klekamp, Daniel W. Greeding, Management Principles and Practices A Contingency and Questionnaire Approach (New York: John Wiley & Sons, 1977), p. 493. [6] Fred Luthans, Organizational Behavior, 3rd ed., (Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha Ltd., 1981),p. 41. [7] Robert K. Greenleaf, 1-2. [8] Ibid., 7. [9] Ibid. 329. [10] Stephen R. Covey, Principle-centered Leadership (New York: Simon & Schuster, 1992), 18. [11] Ibid. [12] Ibid., 31. [13] Ibid., 33-39. [14] Margaret J. Wheatly, Kepemimpinan dalam Dunia Baru, terjemahan Sularno Tjiptowaerdoyo. (Jakarta: Abdi Tandur, 2002), 23. [15] Ibid., 106. ` [16] A.B. Susanto dan Koesnadi Kardi, Quantum Leadership: Kepemimpinan dalam Dunia Bisnis & Militer (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003), 21. [17] Ibid., 41-45. [18] Anna Marsiana, N Barry Priyanto, Novembri Choeldahono, Leadership Capacity Building:Membangun Kapasitas Kepemimpinan Gereja dan Lembaga Pelayanan Kristen di Indonesia (Jakarta: JK-LPK, YBKS SGKI & CCA-URM, 2002), 67. [19] Ibid. [20] Ibid. [21] Ibid. [22] Jerry C. Wofford, Kepemimpinan Kristen, 7. [23] Eko Maulana Ali Suroso, Kepemimpinan Integratif Berbasis ESQ (Jakarta: Penerbit Bars Media Komunikasi, 2004), 62. [24] Jerry C. Wofford, Kepemimpinan Kristen, 8. [25] Eko Maulana, Kepemimpinan Integratif, 63. [26] E. Martasudjita, 36-40 [27] band. Bob Wall, dkk., The Visionary Leader (Batam: Interaksara, t.t.), 203. [28] A.B. Susanto, Meneladani Jejak Yesus Sebagai Pemimpin (Jakarta: Grasindo, 1997), 69. [29] Ibid. [30] Ibid., 72. [31] Ibid. [32] Ibid., 73. [33] Ibid. [34] Ibid. [35] Ibid., 75. [36] E. Martasudjita, 23. [37] Ibid., 23-24. [38] Anthony D’Souza, Developing The Leader Within You: Strategies for Effective Leadership (Singapore: HCALS, 1994), 50-51. [39] E. Martasudjita, 26-27. [40] Ibid., 28