Senin, 05 Juli 2010

Konsolidasi Demokrasi dan Peran LSM



Oleh: Asep Koswara S.Sos.M.si

(Disampaikan pada acara Diskusi Bulanan Pimpinan Pusat Kader Muda Banten)


Kita tengah melihat berbagai kemungkinan prubahan sosial politik di kota ini kaitannya dengan masalah kemajuan daerah dibawah kepemimpinan Ratu Atut Khosiah yang akhir-akhir ini menjadi isu menarik di cermati seiring dengan masa pengabdiannnya yang tinggal menunggu waktu.

Terlepas setuju atau tidak, menurut hemat penulis dalam konteks pembangunan Banten dapat dikatakan cukup. terutama dalam bidang pembangunan sarana dan prasarana.Namun perlu disadari pembangunan tidak hanya cukup dengan pembangunan fisik saja tapi non fisik pun layak dipertimbangkan untuk menjadi sekala prioritas. Oleh karenannya kekurangan ini dapat menjadi catatan penting bagi penerus nanti dikemudian hari.


Dalam konteks ini penulis tidak tertarik untuk menjelaskan era pembangunan dibawah Ratu Atut, karena siapaun tahu dan banyak fakta untuk menguatkan argument bahwa Banten berangsur mengalami fase kemajuan dibawah kepemimpinannya, jika saja ada kekurangan mungkin itu hanya keterbatasannnya.


Yang perlu dicermati sekarang adalah memaknai pembangunan yang erat hubungannya dengan kesiapan kita untuk mampu menindak lanjuti konsekwensi logis dari perubahan social dan perkembangan masyarakat saat ini. Jika berhasil, mungkin pembangunan tersebut akan membawa dampak positif kepada kemajuan daerah. Jika tidak, maka daerah ini akan kehilangan keutuhan dan jati dirinya. Mungkin saja selama Ratu Atut berkuasa riak-riak perpecahan dan konflik politik masih dapat dinetralisir dan cenderung dapat diredam.Namun tidak menutup kemungkinan pada masanya tiba konflik tersebut akan lebih masif dan melibatkan masa akar rumput.

Untuk membaca hal dimuka tidak ada salahnya jika kita belajar dan bercermin dari tragedy yang dialami bangsa-bangsa Eropa Timur, seperti bekas bangsa dan negara Yugoslavia yang hancur berantakan.apa mungkin kota ini akan hancur tergilas ditelan oleh kebodohan dan kejumudan. Oleh karenanya tesis utama tulisan ini cukup sederhana: daerah ini akan maju dan makmur jika mampu merespon kepada logika perkembangan masayarakatnya sendiri, dan sebaliknya akan hancur berantakan jika tidak mau merespon perubahan yang tengah terjadi.


Banten dulu tentu lain dengan sekarang kini, dimana ciri khas kesantrian yang melekat dalam goresan peradaban Banten, perlahan terkikis oleh derasnya arus globalisasi dan pusaran kapitalis. Bagaimana tidak banyaknya pekerja industri yang terdiri dari penduduk asli dan para pendatang dari berbagai daerah, menjadikan Banten sebagai kota mandiri dan heterogen.


Oleh karena untuk merespon setiap perkembangan yang terjadi di Banten kita telah diberikan signal oleh gagasan reformasi sosial politik yang muncul dengan keras. Bahkan agenda reformasi politik telah menjadi unsur bahan berita santer akhir-akhir ini. Semua itu muncul dan bermuara dari keinginan masyarakat untuk melakukan partisipasi politik secara lebih aktif. Mungkin saja sekarang ini partisipasi pasif seperti yang terjadi beberapa waktu lalu sepertinya tidak diperlukan lagi.Sehingga aspirasi terakumulasi dalam makna demokrasi dan demokratisasi.

Perubahan tidak akan menjamin kemajuan, tapi jika Banten mau maju harus adanya perubahan.Oleh karenanya setiap kemajuan perlu suatu percobaan. Karena hal itu sudah merupakan suatu kemestian yang tidak mungkin ditolak atau dihindarkan, Jika kita menentang dan tidak ingin melakukan percobaan sama saja dengan menentang hukum alam.

Tetapi, agaknya persoalannya bukan terletak pada percobaan itu sendiri. Dikota ini yang paling banyak diperselisihkan adalah kenisbiannya. Oleh karenanya tidak sedikit Perbedaan pendapat seringkali bermuara kepada usaha menghalangi dan memberangus, khususnya jika pihak penguasa sudah merasa "terancam".


Demokratisasi dan hambatan kekuasaan

Demokrasi hanya enak dibicarakan saat orang tidak berkuasa. Tapi jika telah berkuasa luntur terkikis oleh nikmatnya sebuah kekuasaan, demokrasi hanya menjadi ventilasi dan isu politik yang bukan saja menjengkelkan, tapi juga begitu melelahkan.


Oleh karenanya jangan heran bila banyak elit politik yang dulunya rajin dan giat menggugat demokrasi, kini malah harus banyak berhadapan dengan kelompok yang mengklaim diri pejuang demokrasi. Maka jangan aneh suatu saat nanti, akibatnya, mereka sendiri mungkin terpaksa harus melepaskan kekuasaan yang sedang dinikmatinya karena dituduh tidak mampu bersikap dan berperilaku demokratis.


Itu pula mungkin sebabnya muncul tesis yang mengatakan, demokrasi yang oleh Fukuyama disebut sebagai "The End of History and The Last Man" itu tidak pernah hadir dalam wujudnya yang sekaligus "jadi", apalagi lahir begitu saja secara taken for granted -- begitu seharusnya, melainkan hadir dalam sebuah proses yang terus "menjadi" (being to be). Tegaknya demokrasi tidak saja butuh waktu dan proses, tetapi yang teramat penting, butuh nilai dan komitmen, di samping butuh kejujuran dan kedewasaan.


Diakui atau tidak Kota ini tengah mengarah pada proses demokratisasi Hal ini patut disyukuri dan tidak bisa dimundurkan lagi. Kenyataan ini dapat dilihat dalam perkembangan politik nasional dimana waktu itu pemerintahan Soeharto jatuh pada tanggal 21 mei 1998, yang kemudian digantikan B.J.Habibi. Selanjutnya Gusdur terpilih pada SU MPR 20 oktober 1999 yang kemudian digantikan Megawati, sampai pada terpilihnya SBY- JK melalui PILKADA langsung dan kemudian di ikuti suksesi ditingkat local termasuk terpilihnya Atut menjadi gubernur.

Menurut Hemat saya proses-proses diatas merupakan suksesi kepemimpinan dengan jelas menandai berlangsungnya proses transisi kearah demokrasi. Tuntutan terhadap demokrasi merupakan kelanjutan gelombang politik yang cenderung ke arah sistem politik yang lebih terbuka. Karena perlu disadari bahwa demokratisasi dapat dikatakan sebagai konsekwensi logis dari pemerataan pengetahuan umum melalui sistem-sistem pendidikan yang tersedia. Kita bisa bercermin pada Negara tetangga sebut saja di Asia Timur banyaknya orang cerdas maka, dengan sendirinya akan muncul pula perkembangan sosial politik warga negara dalam bentuk tuntutan partisipasi yang lebih besar dan ruang kebebasan yang semakin lebar.


Bertolak dari sudut pandang ini jika ada upaya pihak tertentu menghalangi proses-proses demokratisasi sama saja dengan melakukan pengingkaran terhadap perkembangan dan keinginan masyarakat, sehingga tindakan demikian dapat dikatakan melawan sunatullah.


Demokrasi dan demokratisasi yang diteriakan dikota ini akan mengalami hambatan oleh munculnya rezim otoriterianisme. Kendati demikian, masih bisa dipikirkan bagaimana menjamin agar rezim otoriterianisme tidak ada? Untuk ini saya mencoba menawarkan beberapa alternative strategi pertama Perlu adanya aktor-aktor demokrasi kedua Perlu adanya Tindakan. Artinya meskipun masyarakat sedang kesulitan dan mereka kecewa dengan sikap otoriter dan korup para pemimpinnya, prosedur dan lembaga-lembaga demokrasi merupakan cara paling tepat untuk menyelenggarakan kehidupan kolektif yang pro- demokrasi. ketiga Semua warga masyarakat harus tunduk pada prosedur dan lembaga-lembaga yang disahkan oleh proses demokrasi baru.

Dari sudut pandang ini jika ada tindakan yang menghalangi proses-proses demokratisasi berarti telah melakukan suatu pengingkaran dan penjegalan terhadap kecerdasan dan perkembangan masyarakat, sehingga tindakan itu menjadi setara dengan penentangan hukum alam sosial. Oleh karena itu krisis yang diakibatkan oleh tindakan penjegalan terhadap proses demokrasi dapat bersifat fatal dan besar kemungkinanakan mendorong kota ini pada garis kemunduran.

Konsolidasi Demokrasi
Meminjam pemimikirannya Juan Linz dan Alfred Stepen, Toward Consolidated democracies dalam Takashi Inoguchi 1998. Transisi menuju demokrasi jelas tidak akan berhasil baik, jika tidak memperhatikan factor-faktor yang bisa mendorong keberhasilan konsolidasi demokrasi itu? (1) Sistem politiknya harus memiliki legitimasi geografik, konstitusional dan politik, (2) ada kesepakatan mengenai aturan main politik dan semua pihak mematuhinya, (3) pihak-pihak yang berhadapan bersepakat untuk menahan diri, sehingga pihak yang menang tidak menghancurkan yang kalah, (4) kemiskinan di kalangan masyarakatnya diminimalkan, (5) perpecahan etnik, kulutral atau religiusnya tidak mendalam dan bisa dikompromikan.


Sekali lagi meminjam kerangka Juan Linz dan Alfred Prasyarat di atas pada dasarnya memerlukan tindakan politik jangka panjang yang bisa dirumuskan dalam kondisi civil society yang bebas dan dinamik Civil Society dapat diartikan suatu panggung di mana kelompok gerakan dan perorangan yang otonom berusaha mengajukan nilai-nilai yang dianggap penting, membuat perkumpulan dan menggalang solidaritas, dan memperjuangkan kepentingan mereka. Civil Society meliputi berbagai bentuk gerakan sosial (seperti gerakan keagamaan, perkumpulan intelektual, gerakan perempuan, dsb.) maupun perkumpulan berdasarkan kelas (seperti serikat buruh, kelompok pengusaha, dan asosiasi profesi)


Peran LSM ini sangat diperlukan untuk menjadi mediasi ( catalyst). Karena diakui atau tidak realitas warga masyarakat Banten, yang umumnya miskin dan kurang terdidik, belum mampu mengorganisasikan diri dengan efektif, Mungkin dalam konteks ini mengharuskan para aktivis LSM memainkan peran pendukung atau katalis dalam proses perubahan yang sedang terjadi. LSM memainkan peran sebagai katalis dengan masuk ke dalam lingkungan politik, ekonomi dan kultural masyarakat untuk mendorong munculnya tatanan kehidupan yang lebih adil dengan cara membantu pengorganisasian perkumpulan-perkumpulan rakyat tingkat "akar rumput". Dalam hal ini LSM adalah katalis, pelaku utama reforma dan transformasi sosial itu adalah rakyat sendiri.

Bertolak dari pemikiran tersebut untuk mengawal proses demokrasi di Banten sangat diperlukan lembaga Swadaya masyarakat yang benar-benar konsisten dan serius menggarap persoalan-persoalan demokrasi dan civil society. Adapun kegiatan yang dapat dilakukannya adalah pelatihan, advocacy dan penelitian. Dalam menjalan peran dan fungsinya LSM perlu respo dari pemerintah.Dan pemerintah sendiri berhak untuk melakukan tindakan hal-hal berikut:


1. Mempermudah prosedur pendaftaran dan persyaratan pendirian LSM dan organisasi masyarakat
2. membuat UU, peraturan dan kebijakan yang menjamin hak LSM dan organisasi masyarakat Untuk menjalankan kegiatan..
3. Mengakui LSM dan organisasi masyarakat sebagai aktor penting dalam kehidupan ekonomi, memberi dukungan dan subsidi pada sektor-sektor kemasyarakatan tanpa mengorbankan otonomi mereka.
4. Melindungi sektor kegiatan LSM dari gangguan tindak kekerasan.
5. Pembentukan komisi khusus mengenai LSM seperti Komnas HAM, tetapi yang lebih independen untuk menjamin agar hak-hak LSM seperti HAM dan hak akan pembangunan, betul-betul terpenuhi.


Begitulah prasyarat konsolidasi demokrasi yang memang diajukan secara normatif. Ini dimaksud untuk membantu membuat tolok ukur melihat realitas empirik yang sedang berjalan pada tataran aktor, konstitusi, institusionalisasi maupun pada tataran pergumulan day-to-day politics. Lebih dari itu, bermaksud menambah dari tulisan yang beragam dalam buku ini, yang meski beragam, mulai dari aspek budaya, militer, kawasan, pendidikan, ekonomi dan politik itu sendiri, namun jelas kelihatan bahwa secara keseluruhan mereka melihat dari perspektif demokrasi. Persebaran wacana semacam demikian inilah yang diperlukan para pemerhati, mahasiswa, aktivis LSM, maupun para praktisi di birokrasi maupun sektor populer untuk menopang konsolidasi menuju demokrasi. Dengan persebaran wacana sedemikian, maka akan meluas pula informasi yang dapat mencegah kemungkinan munculnya kekuatan penyandera, yang dapat memerosotkan kembali demokrasi menjadi otoritarianisme.


Penulis Adalah Direktur Kajian Politik The Sultan Center (TSC)